31.1.16

Kau

Rasanya agak aneh, ketika aku justru merindukan malam-malam sunyi yang aku habiskan bersamamu. Walaupun aku tahu, tatap mata itu masih bukan untukku. Hati itu, masih belum menjadi milikku. Entah sampai kapan aku akan terus mengagumimu dalam diam.

Aku salah. Aku salah telah menolak rasa yang, seharusnya, dari dulu sudah tersimpan jauh dalam keheningan yang panjang. Tertutup oleh kesenangan semata, kesedihan yang terlalu gelap.

Dalam penantian panjangku, kau, yang akan selalu aku semogakan.

Banda Aceh, 5 Januari 2016, 02:44.

20.1.16

Sudut Ruang

Dan pikiran kacau ini kembali menghantuiku.

Tentangmu.
Iya, masih saja tentangmu.

Entah kapan akan berakhir. Tak tahu kapan harus berhenti. Dan seketika semuanya jadi terasa rancu. Tak teraba. Tak terdefinisikan.

Dan pikiran kacau ini terus saja menghantuiku.

Setiap sudut ruang yang tak pernah aku lepas pandangnya untuk sekedar mencarimu, adalah sudut ruang penuh harap dan rindu. Menemukanmu di tengah gaduh, sedang tertawa bersama kawan karibmu adalah bentang pelangi untuk satu hari indahku.

Tentangmu.
Dan selalu tentangmu.
Seseorang yang tertidur lama di pikiran terdalamku, yang mendadak terbangun dalam rindu.

Dan pikiran kacau ini, kurasa, akan tetap menghantuiku.

Sambil menunggu Tuhan menjawab semua doaku tentang siapa nama yang Ia tulis di lauhul mahfudz untukku, bolehkah aku terus memandangi sudut ruang itu untuk sekedar mencarimu, Abi?

Ruang Kuliah F1, Banda Aceh, 11 Desember 2015, 14:49.

7.9.15

Di Sudut Malam

Masih tetap memikirkanmu, seperti biasa. Mata itu, senyum itu. Entah kenapa. Walau aku sudah menolaknya mentah-mentah, perasaan itu masih tetap ada. Dan akan terus ada. Gejolak yang tak dapat kupungkiri.

Aku belum bisa memastikan apa yang aku rasakan sekarang. Pikiran liarku, semua kepalsuanku, tak bisa mendefinisikanmu. Dirimu. Semua tentangmu.

Kemejamu, buku-bukumu, cara bicaramu. Dingin, datar. Tapi selalu masuk di akalku yang kadang tak rasional. Jangan salahkan aku jika aku sudah terbius oleh dosis morfinmu yang tinggi itu.

Kesendirianmu, dan kecenderunganmu akan kesendirian. Kau dan duniamu. Dua hal yang membuatku luluh lantah. Habis membantaiku. Pesonamu. Deru nafasmu. Tangan-tanganmu.

Dan pandangan mata itu. Masih tetap misterius. Tak bisa ditebak. Seolah menyimpan ribuan rahasia. Pandangan mata yang mengejutkan untuk seseorang sepertimu. Sang penguasa keramaian. Pemecah hening dengan tawa lantang.

Namun kurasa, pesona gelapmu masih akan menjadi canduku. Biarlah aku hanya diam disini, memandangmu dari jauh. Menyimpannya sendiri. Semuanya. Menyimpan kekaguman akan sosokmu, yang bahkan orang lain tak pernah tahu.

Kisahmu, semua tentangmu. Entah kenapa, awalnya selalu sama. Aku takut, nantinya juga akan berakhir sama; kelam.

9.8.15

Rotasi Hati

Dan kekosongan itu datang lagi entah darimana. Membawa sejuta perih dan luka yang masih menganga. Air mataku rasanya sudah harus diisi ulang yang saking sedihnya, ia tak bisa lagi menetes.

Tekanan intrakranialku meningkat. Entahlah, seolah-olah ada 1 ton karung berisi kapas menindih kepalaku. Perlahan-lahan, tapi menusuk dan kontinyu. Tubuhku lemas. Bahkan untuk tidur saja masih terasa berat bagiku.

Aku tahu, pada akhirnya cinta itu akan selalu membawa luka. Mau sekecil apapun lukanya, toh, tetap saja namanya luka. Dan jangan harap luka itu akan sembuh seketika. Jika diibaratkan proses penyembuhan luka, mungkin sel darah putih di tubuhku tak lagi bekerja sebagaimana mestinya, sementara pembuluh darah kapilerku masih terus mengeluarkan darah.

Dan betapa bodohnya aku masih percaya bahwa suatu hari cinta itu akan berakhir indah. Ah, mitos. Walaupun ada, berapa ribu lagi tetesan air mata yang aku buang sia-sia tanpa ada penyeka?

Tuhan, hari ini hari apa, sih? Kenapa rasanya beban pikiranku tak pernah ada putusnya. Tolong aku, Tuhan, yang mulai meragukan cinta yang akan berakhir indah. Aku yang mulai merasa tahun-tahun bersamanya hanyalah tahun-tahun yang terbuang sia-sia. Berlalu begitu saja tanpa ada tujuan jelas akan berhenti dimana.

Aku tak sering berbicara soal cinta. Bibirku tak pandai bermain dengan kata 'cinta'. Itu kenapa aku lebih memilih untuk menuliskannya disini. Selain lidahku yang terlalu kelu untuk berbicara soal cinta, tentunya.

Adalah hal paling rumit setelah mencari penyebab hipertensi essensial.
Cinta.

24.7.15

Akai Ito (Benang Merah)

Bisa saja sekarang kau sadar kalau kau sedang mengejar mati-matian seseorang yg bahkan tak sedikit pun menyadari keberadaanmu. Kau bahkan mau mengacaukan jadwal belajarmu demi berbincang dengannya lewat pesan singkat, membiarkan seluruh hafalan anatomimu berubah menjadi arteri cinta dan nervus rindu, padahal kau tahu kalau ia tak akan pernah membalas gejolak asmaramu. Sementara kau sibuk menari-nari di atas lukamu sendiri, di luar sana ada yg diam-diam memperhatikanmu, mengagumi tiap sudut dirimu yg diciptakan Tuhan tanpa sudut, membiarkan matanya tetap terbuka sebelum tidur untuk sekedar membayangkan selintas senyummu yg tak sengaja ia lihat di kantin kampus tadi siang. Ada, ada yg sedang membayangkan kau memperlakukan dia sama persis seperti engkau memperlakukan seseorang yg bahkan tak paham arti cinta yg tersirat dari binar matamu. Ada, ada yg sedang berharap agar bisa berbincang denganmu, lebih lama dari ribuan detik yg engkau habiskan bersama seseorang yg bahkan tak menyadari kebahagiaanmu saat bersamanya. Ada, ada yg sedang meninginkan kau menatap matanya, sama seperti saat engkau menatap mata seseorang yg bahkan tak sedikitpun menatap matamu.

Ada.
Akan ada.
Dan,
Pasti ada.

(Ditulis bersama lagu Akai Ito by Yui Aragaki)

30.3.15

NOAH - Membebaniku (Music Video Cover) by Traveledge: http://youtu.be/I5HLdJIvNE4

12.3.15

Flashback: mbadokers&friends.

Persahabatan kita ngga cuma sampai disini, ya! Sampai kita udah jadi orang-orang sukses, kita harus tetep bareng-bareng! Pokoknya sampai nanti kita udah jadi kakek-nenek!

Mataku tertuju pada sebuah tulisan di bagian bawah bingkai foto kami; aku dan 8 sahabatku. Tulisan itu begitu sederhana, hanya ditulis pada sebuah catatan tempel yang sudah usang. Namun sudah 4 tahun berlalu sejak foto itu ada di kamarku, entah kenapa selalu membawa senyum di bibirku. Aku masih ingat betul hari pertama aku meletakkannya di kamarku sambil berdoa dalam hati agar persahabatan kami bisa abadi. Kemudian aku akan memandanginya setiap malam, saat aku kelelahan, bahkan saat aku bersedih. 

Sudah tak terhitung lagi berapa banyak kenangan bersama orang-orang spesial seperti mereka. Gelak tawa dan derai air mata. Mulai yang mengharukan, menyedihkan, menyenangkan, menegangkan bahkan memalukan. Terkadang aku masih sering tertawa saat aku teringat akan hal-hal konyol yang kami lakukan semasa SMA dulu. Ah, anak SMA. Semua hal yang tak mereka ketahui, pasti akan dicoba. Soal bagaimana hasilnya, tak peduli.

Sejujurnya aku merindukan masa lalu. Masa dimana tak ada drama tentang kebahagiaan yang kau susun skenarionya agar orang lain tahu kalau kau baik-baik saja. Semua terasa begitu spontan. Berjalan ke kantin seperti seorang penguasa, tertawa terbahak-bahak saat lewat di depan ruang guru, mencuri kesempatan untuk mencontek saat ujian. Dan itu semua kami lakukan tanpa ada rasa ragu, tanpa ada rasa bersalah. 

Aku masih ingat betul. Hampir setiap jam istirahat sekolah, kami langsung berhamburan keluar dari kelas masing-masing dan berkumpul di tempat yang biasa kami gunakan sebagai titik pertemuan; tangga utama sekolah. Kami bercerita tentang guru killer yang memberikan soal OSN fisika sebagai bahan ulangan, tentang seorang teman yang tak bisa menjawab soal dan harus berdiri di depan kelas hingga jam istirahat, hingga tentang pendingin ruangan di kelas yang mendadak mati di tengah pelajaran. Selalu ada canda tawa di sela hari-hari kami. Cerita tentang sebuah restoran baru di pusat perbelanjaan yang ternyata mahal dan rasanya tak enak, tentang si kakak kelas tampan yang punya pasangan baru, tentang seorang teman yang tak sengaja menjatuhkan telepon genggam baru miliknya.

Ah, terlalu banyak cerita dan kenangan yang tak bisa aku tulisan. Namun sayang, itu semua hanyalah tinggal cerita. Sekarang? Entahlah. Aku tak terlalu berharap mereka masih ingat dengan itu semua. 

Sekarang kami semua sudah duduk di semester 4 perguruan tinggi dan terpisah oleh jarak dan waktu. Aku tahu mereka sibuk merangkai masa depan. Jadi, aku masih menganggap wajar jika kami semua mulai jarang berkomunikasi. Aku tahu betul sahabat-sahabatku. Mereka bukan orang yang main-main dengan masa depannya. Mereka begitu berkomitmen pada diri sendiri bahwa ia akan menjadi seseorang yang bisa dibanggakan suatu hari nanti. 

Walaupun kami tak lagi seperti dulu, tapi aku berharap akan ada satu titik dimana kami akan berkumpul bersama-sama lagi. Menceritakan kesibukan masing-masing dalam nada sarkasme khas Surabaya. Menertawakan setiap masalah hidup yang kami hadapi. Mengutarakan harapan-harapan untuk hidup yang lebih baik.

Selamat menjalin masa depan, sahabatku. Semoga aku selalu ada dalam benak kalian. Dan semoga saja, kata-kata diatas kertas usang itu akan menjadi kenyataan suatu hari nanti. Aku masih percaya, dan akan terus percaya, bahwa persahabatan kita adalah yang pertama dan terakhir. 


Sampai jumpa di puncak kesuksesan. Doaku selalu menyertai kalian semua. :)

Aku, Beldon, Andik, Manda, Deak, Hana dan Ikik. Kurang Lita sama Lia aja. Sayang banget pas itu mereka gabisa dateng:")
Foto ini diambil di bulan Juli 2014.
I LOVE YOU GUYS TO NEPTUNE AND BACK! See you guys on top! <3

8.7.14

Masih Tentang Kenapa

Kegiatan rutin tiap malemku masih sama: merenung. Dan hal yang direnungkan juga nggak jauh-jauh banget berubahnya.

"Kenapa sih Tuhan naruh aku di kedokteran?"

Tiap hari aku duduk di kelas, dengerin dokter yang asik pencet-pencet pen light sambil nyerocos gatau apaan, tapi sejauh ini tanda tanya dan  "kenapa" itu masih aja nempel di otak. Buku-buku setebel bantal berasa kertas kosong yang nggak ada isinya.  Sederet hafalan checklist pemeriksaan fisik berasa struk belanja bulanan di Indomei. Aku nggak fokus. Aku nggak fokus. Ini bukan tempatku, mana mungkin aku bisa nyaman?

Kurang lebih setahun aku ngejalanin kehidupan di Aceh dengan penuh tanda tanya. Bahkan kesibukanku di organisasi kampus dan BEM juga belum mampu ngehapus 2 hal yang sebenernya nggak bakal pernah ada jawabannya, sebelum Tuhan yang memberikan jawabanNya, dan tentu, tidak sekarang. Hingga akhirnya hari-hari yang dinantikan anak-anak rantau pun tiba: pulang kampung.

Udah nggak bisa diukur lagi betapa senangnya aku bisa kembali lagi ke tanah kelahiranku, Surabaya. Aku ngerasa kaya hidup kembali, merasakan lagi hiruk-pikuk kesibukan kota terbesar kedua di Indonesia. Namun ada satu hal yang aku tidak siap: menyadari kalau impianku menjadi mahasiswi DKV di salah satu institut negeri terkemuka di Surabaya, bahkan di Indonesia itu, benar-benar sudah lenyap seutuhnya; menjadi mahasiswi ITS. Hari pertama aku tiba di Surabaya, entah kenapa rasa pedih itu langsung muncul gitu aja. Ya Tuhan, tenangkanlah diriku, batinku dalam hati. Sejujurnya aku masih sering menangis, kenapa aku nggak bisa jadi kaya mereka yang beruntung bisa ngerasain jadi anak DKV. Dan lagi-lagi, kenapa. 

Hari kedua, akhirnya aku nekat buat nyobain lewat depan ITS. Suhu tangan dan kakiku mendadak turun. Badanku gemetar. Mataku mulai panas. Tapi demi memenuhi keinginan hati yang pengen banget diuji (lagi), aku teruskan niatku. Pelan-pelan aku lewatin jalan itu. PENS, lewat. Grha ITS, lewat. Belok kiri, ada palang tulisan Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Ah, gagal.

Air mataku udah keduluan jatuh. Aku tutup kaca helm rapat-rapat, aku pacu motorku dengan kecepatan diatas rata-rata, dan langsung melesat pulang. Masih dalam status gagal move on juga aku ternyata. Sebenarnya dalam hati juga sebel sendiri, kenapa sih masih nggak kuat aja? 

Hari ini tepat 12 hari aku menghirup udara di tanah kelahiranku. Dan udah 11 kali juga aku lewat depan ITS. Tapi sayang, hasilnya masih sama; nangis. Sugesti untuk tegar dan motivasi untuk terus berpikir positif, kayanya udah nggak ada gunanya lagi. Despro. DKV. Despro. DKV. Ah, kenapa sih?!

Tapi, malam ini, aku nyoba lagi lewat depan ITS. Kali ini, sengaja aku jalan pelan-pelan, nggak peduli orang-orang pada mencet-mencet klakson gara-gara aku yang jalannya kaya siput bangun tidur. Memang sih masih nangis, malah tadi belum sampai di depan PENS aja udah banjir. Dengan gaya sok kuat aku masih jalan pelan-pelan. Tapi ada satu pikiran terlintas dipikiranku.

Kalau aku nggak jodoh buat jadi mahasiswi ITS, siapa tahu jodohku justru jadi dosennya, jadi tenaga pengajarnya!

Aku berhenti persis tepat di depan tulisan Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Pura-pura main HP padahal sebenernya asik mandangin tulisan kampus yang pernah menjadi impianku, bahkan mungkin sampai saat ini, dan seterusnya. Aku tersenyum, dan lagi-lagi sok tegar. Yah, manusia boleh dong punya mimpi, punya harapan. Asalkan ada doa dan usaha, ditambah tawakkal, mungkin Tuhan mau berbaik hati mewujudkan impian yang mungkin menurut beberapa orang adalah mimpi yang sepele. Kunyalakan lagi sepeda motorku, aku buka kaca helm lebar-lebar, dengan kecepatan normal aku pulang sambil menikmati angin malam. 

Waktu menunjukkan pukul 21.06 WIB saat aku tiba di rumah. Aku sadar, hari ini aku belum menyentuh HP dan tabletku seharian. Dan benar saja, 25 missed calls, 13 SMS, 314 chat line, dan 11 chat BBM. Luar biasa. Aku buka semuanya satu-satu. Tumben nih nggak ada yang ngirim chat nggak penting. Tapi ada beberapa pesan yang sebenarnya udah sering aku terima dan aku dengar, tapi maknanya jadi lain banget hari ini.

"Ren, gimana? Udah selesai desain posternya?"
"Ren, desain ID Card udah selesai belum?"
"Ren, gimana konsep video buat penerimaan maba nanti?"
"Dek Renda, gimana majalahnya? Layout sudah selesai? Covernya ada kesulitan?"

Ternyata teman-temanku di Aceh, mengirim pesan yang sama berulang-ulang karena aku hari ini sama sekali nggak pegang HP. Aku tersenyum sambil membalas satu-satu pesan mereka. Memang, desain pesanan mereka udah aku kerjakan semua dan siap dikirim lewat email. Aku buka laptopku, aku buka file yang judulnya "Desain" dan tanpa aku sadari, udah puluhan desain poster, ID card, spanduk, pamflet, brosur, buletin, berbaris rapi disana. Dan semuanya adalah hasil kerjaku, yang alhamdulillah sejauh ini nggak pernah ada komplain 'kurang puas'. Yah, setidaknya kesenanganku masih bisa tersalurkan, dan lebih bahagianya lagi, banyak orang yang tersenyum senang karena karya-karyaku, dan buatku, itu udah lebih dari cukup.

benda-benda ini adalah hiburanku, obat paling ampuh buat ngilangin badmood.

Belum selesai sampai disitu. Beberapa hari lalu aku sempat juga nge-share video tentang nasib para dokter di Indonesia. Aku masih inget banget gimana isinya. Di video itu diceritain kalau jadi dokter itu susahnya minta ampun. Sekolahnya aja udah lama banget, apalagi kalau ambil spesialis dan sebelumnya juga ambil magister atau S2 (dan spesialis itu bukan jenjang S2). Biaya sekolah di S1 kedokteran, terutama di pendidikan dokter, menghabiskan biaya sekitar 98 juta rupiah dalam kurun waktu sekolah minimal 5 atau 6 tahun. Itu baru S1. Namun, para dokter yang bekerja sebagai PNS, hanya digaji 1,5-2 juta perbulan. Jika masih merasa kurang cukup, mereka akan membuka praktek dokter sendiri saat mereka tidak bekerja di rumah sakit. 

"Jadi dokter itu tujuannya dari hati, bukan cari uang. Kalau mau cari uang mending jadi pengusaha aja"


Aku jadi kepikiran beberapa hal. Mungkin Tuhan punya jalan cerita sendiri kenapa aku harus ada di kedokteran. Mungkin Tuhan punya jalan cerita sendiri kenapa aku masih bermimpi bisa jadi warga ITS suatu hari nanti. Mungkin Tuhan punya jalan cerita sendiri kenapa aku harus jauh-jauh ke Aceh, jauh dari rumah, untuk menempuh pendidikan perkuliahan. 

Atau mungkin, Tuhan punya jalan cerita sendiri, yang aku nggak bakalan bisa ngerti apa maksudnya, nggak bakalan bisa ketebak jalan ceritanya, dan yang aku tahu pasti, kalau Tuhan yang bikin cerita, akan selalu berakhir bahagia. Apapun, gimanapun caranya. 

Yang jelas, satu yang pasti masih jadi pertanyaan besar, dan sekali lagi, hanya Tuhan dan waktu yang tahu jawabannya; KENAPA.

20.4.14

Sajak di Secarik Kertasku, Untukmu.

Tak apa, sayang
Tuhan masih menyayangiku hari ini
Walaupun hanya sepatah kata terucap darimu,
Tapi aku tahu,
Kamu telah meluangkan waktumu yang berharga untukku,
Seorang wanita yang hanya bisa memelukmu dalam emoticon,
Dan bukan pelukan sesungguhnya

Tak apa, sayang
Teman-temanku sudah cukup menghiburku hari ini
Walaupun tetap hanya sepatah kata terucap darimu,
Tapi aku tahu,
Betapa kamu sedang disibukkan dengan perjalanan panjang
Dari kota Sriwedari ke kota Pahlawan

Tak apa, sayang
Mendengarmu sampai di rumah dengan selamat saja sudah cukup bagiku
Tak perlu lagi ucapan selamat ulang tahun darimu
Aku tahu kamu ingat
Tapi hanya saja,
Mungkin kamu tak sempat mengucapkan

Tak apa, sayang
Maaf kalau aku terlalu berharap lebih
Beristirahatlah malam ini
Mentari masih menunggumu esok hari
Dan terima kasih masih mau bersamaku sampai hari ini
Mungkin sampai esok, bahkan seterusnya

Tak apa, sayang
Mungkin ini balasmu
Balasanku yang sibuk sendiri dengan kegiatanku saat hari kelahiranmu
Tak apa sayang, sungguh
Kalau ini bukan cinta,
Mungkin aku sudah acuh padamu sedari tadi

Tak apa, sayang
Tak apa

18.4.14

Surga dalam Neraka

"Rene, aku pulang dulu ya!" aku mengangguk perlahan sambil tersenyum, mengiyakan pernyataan teman-temanku yang entah sudah berapa kali aku dengar bersahutan. Aku sendiri masih tak berniat pulang, toh, suasana kelas siang ini tak sepanas biasanya. Tak ada salahnya menikmati barang sepuluh atau lima belas menit.

Aku bangkit dari tempat dudukku, bangku kedua dari depan, berjalan menuju jendela tepat di samping meja guru, duduk manis di atas meja guru yang sudah agak usang itu, menatap kearah lapangan parkir yang mulai kosong. Satu-persatu mobil mulai hilang dari hadapanku, tidak jauh beda dengan riuh suara lelah teman-teman sekelasku lainnya yang tak lagi ramai dan perlahan-lahan berubah menjadi sunyi. Hingga aku tersadar bahwa tinggal aku sendiri saja yang ada di kelas ini.

Aku mengalihkan pandanganku ke seluruh sudut kelas. Mencoba mencari sesuatu yang menarik untuk dilihat. Namun satu-satunya yang menarik hanyalah tasku, yang aku biarkan tergeletak diatas meja dalam keadaan menganga lebar. Kacau balau. Buku-bukuku juga masih berserakan. Tak terbesit di benakku untuk merapikannya. Ah, biar saja, batinku.

"Belum pulang, Rene?"

Sesosok laki-laki berdiri di ambang pintu. Ya, Christopher, teman sekelasku yang menurutku berbeda dari laki-laki yang lain, yang keberadaannya selama setengah semester ini mendadak sering membuat kupu-kupu yang ada di perutku beterbangan, membuat jantungku yang tadinya bekerja normal mendadak tidak stabil. 

"Belum, Chris. Kau juga belum pulang rupanya? Ada perlu apa kau kembali ke kelas?"

"Ah, tidak. Tadinya aku ingin mencari penaku yang tertinggal di...."

"Meja guru, kan? Sepertinya ini memang milikmu"

Aku melemparkan sebuah pena berwarna biru, kemudian ia menangkapnya dengan sempurna. Senyum tak terlalu lebar tersirat di wajah lelahnya. Dingin. Entah apa arti senyumnya itu. Namun belum sempat aku berpikir mengenai arti senyumnya itu, kupu-kupu di perutku sekali lagi kembali beterbangan. Dan sekali lagi, jantungku bekerja tidak stabil. Kelenjar adrenalku mendadak bekerja lebih keras dari biasanya. Mataku terpaku, otakku serasa beku.

"Terima kasih, Rene"

Ia berjalan mendekat, menghampiriku yang sedang duduk manis di meja guru sambil memandangi lapangan parkir. Dan dengan bodohnya, aku masih sibuk menata kembali perasaanku, menyembunyikan sesuatu yang seharusnya dia tidak usah tahu. Aku bingung. Semuanya jadi serba salah.

"Rene? Kau tidak apa-apa?"

Blap! Aku kembali sadar. Syukurlah.

"Ah, ti....ti.....tidak apa-apa kok, Chris. Aku ha....hanya...."

"Melihat ke arah lapangan parkir, kan?"

Aku menoleh padanya dan menggangguk sambil tersenyum. Dan aku temukan satu lagi keagungan Tuhan yang sungguh nyata dan indah, menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang tercipta sempurna. Ya, mata biru milik Christopher. Mata yang menenangkan, sekaligus misterius, namun menyiratkan suatu arti tersendiri. Sekitar tiga detik aku menatapnya, mencoba menerka apa yang ada di dalamnya. Namun batinku goyah, aku kembali tersadar dari halusinasi singkatku. Bodoh, kalau sampai dia tahu arti sirat mataku, bisa mati aku, batinku. Namun Christopher hanya diam. Nampaknya ia tak sadar aku sedang menerka arti sirat matanya yang misterius itu tadi. 

Seketika aku dan Christopher larut dalam diam. Sunyi. Kesunyian yang berbeda dengan kesunyian-kesunyian sebelumnya. Kesunyian yang begitu berarti untukku, mungkin. Dimana dua orang manusia disibukkan dengan pikiran dan imajinasi masing-masing. Lucu juga, jantungku yang tadi seperti akan melompat keluar mendadak mulai tenang, semakin tenang. Aku memejamkan mata sejenak, membiarkan seluruh sel-sel di dalam tubuhku mendengar desiran darahku sendiri, mengalir dari ujung rambut ke ujung kaki, bersamaan dengan sapuan angin sore di wajahku, membuat rambutku seolah menari. Begitu tenang dan damai.

"Aku bisa membayangkan lapangan parkir ini saat pagi hari. Penuh. Riuh. Terkadang kacau, tapi wajah-wajah tidak peduli itu tetap melengos masuk ke neraka ini"

Suara Christopher membuyarkan semuanya. Aku membuka mata dan kembali pada kenyataan bahwa ia memang masih disini, di sampingku, tanpa satu sentimeterpun bergeser menjauh. Matanya masih menatap lekat ke arah langit jingga di luar jendela. Neraka? Tempat ini adalah neraka baginya? Baiklah, untuk alasan tertentu aku terpaksa menahan diri untuk tak menanyakan hal itu padanya. 

“Kau tahu, Rene? Tempat ini adalah neraka”

Tunggu, kau sudah mengatakan hal itu sebelumnya. Tentu saja aku sudah tahu. Yang benar saja!, batinku.

“Namun neraka ini berbeda, neraka yang memiliki surga di dalamnya, meskipun hanya satu, kecil, dan nyaris tidak tampak”

Aku sungguh tak mengerti apa yang ia ucapkan. Surga? Hanya satu? Di tengah neraka? Apa ia sedang bergurau? 

“Hahaha, sudahlah, aku mulai membayangkan yang tidak-tidak. Aku pulang dulu ya, Rene. Terima kasih sudah mau mengembalikan penaku”

Ia melengos begitu saja, meninggalkanku yang masih terpaku menatapnya berjalan pergi. Entah kenapa, melihat hal itu, kata-kata yang entah dari mana datangnya, keluar begitu saja, seolah mengejek kemampuan otakku untuk berpikir lebih cepat dari itu. Kedua kakiku serasa menyuruhku untuk bangkit dari posisi dudukku, memaksaku berdiri, dan pada akhirnya menanyakannya.

“Chris, yang kau sebut surga dalam neraka, i....itu, sebenarnya, a...a....apa?”

Christoper menghentikan langkahnya. Terdiam sejenak, untuk setelahnya berbalik arah dan menatap mataku lekat. Sirat mata itu, aku melihatnya lagi. Sirat mata yang menyiratkan suatu arti tersendiri. Dan kini sirat mata biru itu menatapku lekat, tak membiarkanku melewatkan satu detikpun untuk berpaling. Bahkan berkedip.

“Kau mau tahu apa surga dalam neraka itu?”

“Memangnya apa?”

Christopher terdiam. Mulutnya terbuka seolah ia ingin mengatakan sesuatu, lalu mengatup kembali. Suasana menjadi hening sesaat, sebelum akhirnya ia tertawa kecil sambil tersenyum penuh arti.

“Kau, Rene”

Mataku masih menatapnya, dengan binar ketidakpercayaan. Seluruh tubuhku bergetar. Tangan dan kakiku serempak menurunkan suhunya, bersiap-siap untuk terbang melayang-layang di udara, atau berlarian di bawah guyuran dedaunan jati yang meranggas. Aku terdiam. Terkejut, tidak percaya. Aku? Surga?

“Kau masih tidak percaya, Rene? Baiklah, aku rasa kau butuh bukti”

Christopher berjalan menghampiriku yang sedari tadi masih berdiri dalam posisi yang sama, masih dalam tatapan matanya yang lekat. Aku merasakan ada sesuatu yang meraih kedua tanganku, menggenggamnya erat. Christopher mendekatkan posisi tubuhnya, hingga ia tiba persis di samping telinga kananku.

“Aku mencintaimu” 

Ia berbisik. Bisikan paling tulus yang pernah aku dengar. Bisikan yang meluluh-lantahkan ketakutanku, keraguanku. Kupu-kupu dalam perutku kembali beterbangan, dalam koloni yang lebih banyak. Pandanganku mendadak kabur, rupanya ada setetes kebahagiaan yang menetes dari sana. Aku tersenyum, entah apa definisi senyum itu. Ada kebahagiaan, haru, semuanya. Kebahagiaan, dimana akhirnya ada orang yang berani untuk mencintaiku, dan menungkapkannya. Haru, dimana akhirnya hatiku menemukan rumah yang sebenarnya, yang benar-benar menerimaku apa adanya. 

Aku memeluk Christopher, membiarkan ia merasakan kebahagiaan itu sejenak, sebelum akhirnya aku melepas pelukannya dan berkata “Aku lebih mencintaimu”



Jika aku adalah surga kecilmu, maka kedua mataku adalah malaikat-malaikat penghuni surga itu. Hatiku adalah tempat dimana kau akan tinggal selamanya. Pundak dan tanganku adalah tempat dimana kau menaruh harapan-harapanmu, harapan-harapan kita, bersama dengan kehangatan sentuhan tanganmu. Maka inilah aku, surga kecil dalam nerakamu, satu-satunya hal yang masih membuatmu bertahan.  

13.4.14

Kapal Kayu

Terombang-ambing
Bagai perahu kayu di laut lepas
Sungguh, ombak ini terlalu kencang
Menerjangku, tak sekali, dua kali
Terhempas hingga jauh

Aku sudah terlalu jauh dari dermaga
Ingin kembali pun, aku tak bisa
Lagipula, ombak ini masih terlalu kencang
Untukku yang rapuh, porak-poranda
Terhuyung lemah, tak tahu harus kemana

Tuhan, cobaan apa lagi ini?
Kayu-kayu perahuku sudah semakin rapuh
Tak adakah satu mercusuarMu menuntunku pulang?






10.2.14

:)

Aku mencintaimu dengan sederhana
Sama sederhananya seperti saat kamu tersenyum
Ikhlas, begitu bahagia
Membiaskan binar-binar bintang maha terang

Aku mencintaimu dengan sederhana
Sama sederhananya seperti saat kamu berbicara
Tegas, lugas, penuh semangat
Membuat tubuhmu seakan habis terpanggang oleh semangatmu yang membara

Aku mencintaimu dengan sederhana
Sama seperti saat kamu tertawa
Lepas, lantang, tanpa beban
Seolah hidupmu hanya untuk berbahagia
Tidak pernah kamu biarkan awan hitam menaungi satu sentimeter pun langkahmu

Aku mencintaimu dengan sederhana
Sama seperti saat jemari lincahmu menari diatas tuts piano
Gemulai, penuh perasaan
Mendentingkan nada-nada indah bernuansa klasik sarat makna

Aku mencintaimu dengan sederhana
Sangat sederhana
Sesederhana aku yang membuat puisi ini atas nama rasa rindu
Sesederhana aku yang terduduk diam bersama bayangmu

Disini, dibawah langit malam ini
Langitku, dan langitmu
Bukankah itu masih langit yang sama?
Langit yang aku lihat sekarang
Langit yang kamu lihat juga dari sana, kan?

Karena aku mencintaimu dengan sederhana
Sama seperti saat aku menatap langit hitam ini
Langit hitam yang sama saat aku terakhir kali tertawa bersamamu
Masih langitmu, dan langitku

9.10.13

new life; college life

HAAAAAAAAAAIIIIII!!!! IT'S BEEN LIKE YEARS YA. OMG I MISS THIS BLOG. akhirnya bisa ngepost juga mwehehehe.
by the way, aku udah bukan anak SMA lagi lho. aku udah jadi mahasiswi sekarang.

seneng? nggak juga.

sedih tau jadi mahasiswa. dianggap udah mandiri. udah dibina jadi mental calon mahasiswa yang kuat waktu di SMA. ya seneng sih seneng ya, udah dewasa. udah agak bebas dari kekangan orang tua. apalagi sekarang aku nggak kuliah di Surabaya. tapi tetep aja belajarnya harus lebih giat lagi. hiks.
hmm, panjang ceritanya kenapa aku nggak kuliah di Surabaya, padahal dari lahir sampe kelas 3 SMA muternya disitu-situ aja. itu juga salah satu alasan sih kenapa aku jarang banget bisa posting ke blog kaya gini. kesibukan yang padat dan jadwal kuliah (duh, kuliah sekarang) yang selalu full dari jam 8 pagi sampe 6 sore bikin pening. jadi langsung saja.

jadi, waktu SNMPTN kemaren ceritanya aku ga lolos. dan terjadilah perdebatan panjang antara aku sama mama-papa. mereka pengen aku sekolah kedokteran (yeah, but I still don't get it why almost all of parents in this planet wants their children to be a doctor), sedangkan aku pengen sekolah desain produk di ITS. udah tau sendiri kan repotnya kalau jalan pikiran anak nggak sejalan sama orang tua. namun toh setelah perdebatan panjang yang rumit, ujung-ujungnya aku ikutin aja apa maunya mama-papa. dan impian mereka jadi kenyataan: aku calon dokter sekarang. iya. calon dokter. masih rada nggak percaya wanita super pencilakan kaya saya jadi dokter doa orang tua emang segalanya deh. dan mungkin Allah juga udah menakdirkan jalanku emang bukan jadi anak desain komunikasi visual, tapi jadi dokter. nah lho, jauh banget kan.
aku berhasil jadi mahasiswi kedokteran setelah lulus tes tulis yang nama kerennya SBMPTN. mau tau aku lulus dimana sekarang? nih, cekidot fotonya bro, sis.

disini, disini, di tempat tercinta, Universitas Syiah Kuala~ *nyanyi iki ceritane*

udah jelas kan? itu almamater aku sekarang, Universitas Syiah Kuala. tepatnya di fakultas kedokteran. Unsyiah (ini ceritanya nama keren universitas saya gitu) ini berada di ujung barat Indonesia, provinsi paling ujung di pulau Sumatera. yup, di Banda Aceh. sekarang kalian bisa nganga, ngowoh, ndlahom, ngiler, ngences, dan sebagainya. "Kok jauh banget sih, Ndang?" "Kenapa kok milihnya di Aceh?" adalah pertanyaan yang selalu dipertanyakan orang-orang kepada saya, khususnya orang Aceh itu sendiri. nggak perlud dijawab detail juga kali ya, kalau nggak milih unsyiah ya ngapain namaku nyangsang (oke, nyangsang itu bahasa indonesia-nya apa?-_-) disitu. apalagi amanah mama-papa dan keluarga besar yang aku emban disini. jadi, toh disyukuri aja. kuliah dimanapun sama aja kok, asalkan niatnya sama: cepet lulus biar cepet pulang jadi abdi masyarakat yang nggak menyimpang dari etika-etika kedokteran. 
eits, jangan salah kaprah bro. di FK, khususnya prodi pendidikan dokter, juga banyak kok pendatang dari Jawa. malah ada yang dari Papua. lebih ujung lagi tuh dari pada Surabaya yang cuma ujung timurnya pulau Jawa, bukan Indonesia. ya meskipun jarang yang dari Jawa Timur sih, tapi toh, Jawa Tengah juga sama-sama pake bahasa Jawa, jadi tetep bisa mengobati rasa rindu kampung halaman dengan membudayakan berbahasa Jawa sesama orang-orang Jawa disini. bukannya kita rasis, kita cuma nggak mau lupa sama asal daerah kita aja. dan tetep, medhokku iki lho rek sek dadi ciri khas. arek Jawa Timur kudu bangga nek medhok, rek!

oke, lanjut.

so, I socialize here. got new friends, new family, new teachers, new environment. awalnya sih jelas kenalan sama anak-anak yang satu kampung halaman alias anak Jawa ngahahaha. oke, salah satu yang paling akrab adalah Ocik. nama lengkapnya Leily Rosyidah. anak Cepu, yang ternyata pernah tinggal di Surabaya. waktu ketemu Ocik, rasanya seneng banget. akhirnya ada yang biasa diajak ngomong bahasa Jawa setelah waktu itu mungkin hampir sebulan aku sama sekali nggak komunikasi pake bahasa jawa di Banda Aceh, kecuali sama mama sih kalau di telpon.

left to right: me and Ocik. ketok nek arek Jowo toh?:))

tapi sayangnya, aku sama Ocik nggak sekelas. aku kelas B, Ocik kelas A. karena jadwal kita nggak pernah bareng kecuali waktu kuliah umum, jadilah kita jarang ketemu. sedih sih, tapi toh pas kuliah pakar di aula tetep ketemu kok.
oh iya, selain Ocik, ada lagi nih. sama-sama pendatang. bedanya, mereka pendatangnya nggak jauh-jauh amat kaya saya. mereka adalah Rara, Hasna, dan Putri. Rara sama Putri dari Medan, kalau si Hasna ini dari Depok. tapi Hasna udah pernah kuliah setahun, jadi seharusnya aku manggil dia kakak sih, tapi dianya nggak mau jadinya yaudah:| 

top left to bottom right: Hasna, Rara, Putri (yang pegang piring), and me

daaaan kami berempat sebenarnya adalah teman satu kelas di B-03 hahaha. tapi aku kemana-mana hobinya sama mereka sih. daripada penasaran, mending sekarang aku kenalin temen-temen sekelasku aja ya. ketua kelas kita namanya Anji, dengan komplotan pria-pria yang diam-diam menghanyutkan lainnya seperti Guntur, Sando, dan Fadhil. dari keempat pria ini, Fadhil yang paling diem menurutku. sementara ketiga lainnya......ah, tau sendiri lah gimana. dan komplotan wanita kita ada aku, Rara, Hasna, Putri, Cut Nad, Nana, Pita, dan Rina. kami ber-12 ini super sekali. kemana-mana berisik, terutama cewek-ceweknya yang selalu bikin Jibos alias Anji ngomel terus-terusan hahaha. tapi seru sih, ada aja yang diomongin, diketawain, dibecandain, sampe didiskusiin yang serius banget gitu juga ada. ah, keluarga baru yang menyenangkan lah pokoknya. dan ini adalah kami, B-03.

kiri atas sampe kanan bawah (jalurnya ngular ye): Cut Nad, Anji, Pita, Rina, Nana, me, Putri, Hasna, Fadhil, Guntur, Rara, Sando. diambil dari foto-foto kartu blok anak-anak B-03, makanya mukanya abstrak semua wakakak  

ini waktu kelas tutorial fresh scenario pertama kita. ngeksis dulu sebelum dosennya masuk. this picture was taken by me.


and, we've been through everything selama hampir 2 bulan sekelas. mulai dari disensiin dokter di skill lab yang ngirain kita anak semester 3, kena omelan dokter waktu masuk lab fisiologi, heboh sendiri waktu belajar histologi di kantin, kegaduhan nyari probandus dan teriak-teriak nggak mau disuntik waktu punksi vena, sampe bela-belain belajar anatomi bareng di skill lab padahal harusnya kita latihan mandiri scrub up and gloving dan ketahuan dokter senior. sebenernya sedih juga kalau tau semester 2 nanti kita nggak sekelas lagi soalnya kelasnya bakalan diacak lagi. tapi nggak apa-apa lah, selagi masih bisa bareng-bareng, kenapa nggak dimanfaatin sebaik-baiknya kan? mehehehe.

oh iya. selain sibuk kuliah dan menggila sama mereka semua, disini aku juga sering jalan-jalan dong jangan ditiru ya. lebih tepatnya sih ngafalin jalan. masa dari dulu cuma hafal jalan dari rumah ke masjid raya Baiturrahman doang. di Banda Aceh juga udah gaul sekarang, ada mall men hahaha. ya meskipun mall-nya cuma 1/16-nya Tunjungan Plaza, tapi tetep aja lumayan lah, nggak perlu terlalu jauh ke Medan lagi buat sekedar nge-mall. lagian disini juga banyak cafe buat tongkrongan asik dan murah, pas banget buat kantong-kantong mahasiswa kaya kita. well sebenernya, yang bagus disini itu pantainya bro. jadi sebenernya nggak ada mall yang gede pun disini nggak masalah, karena wisata pantai disini bagus-bagus, nggak kalah kok sama Bali. cuma ya gitu, karena lokasinya yang jauh, jadi belum banyak yang kesini. selain itu, di Banda Aceh juga ada event 5 tahun sekali, namanya Pekan Kebudayaan Aceh. dan kebetulan banget, tahun ini adalah tahun ke-6 PKA diselenggarakan. nggak mau ketinggalan dong, aku juga dateng ke PKA hahaha udah sah jadi anak gaul Banda Aceh belum nih?. jadi ceritanya aku, Rara, sama Hasna ngerencanain buat ke PKA abis kuliah hari Jumat karena jadwalnya cuma sampe siang. karena rencananya dadakan, akhirnya Isna dan Afiya ikut juga sama kita bertiga. dengan kenekatan luar biasa, berangkatlah kita ke kota naik labi-labi ( labi-labi ini sejenis angkot. bukan, bukan sodaranya laba-laba). dan setelah sampai di PKA.....WOW! serius itu acara rame, keren, bling-bling banget! mirip pasar malem sama pameran budaya gitu deh.

left to right: Hasna, Rara, Isna, Afiya, me.

udah jadi anak gaul Banda Aceh nih bro udah ke PKA muahahaha

tapi yah, disamping semua itu, tetep disini tujuan utamanya ya sekolah. nyari ilmu sebanyak-banyaknya buat masa depan. serius, kerasa banget ilmu selama di SMA waktu di kuliah ini, karena kuliah ini sebenernya cuma pengembangan ilmu-ilmu yg di SMA aja. jadi buat kalian yang masih SMA, giat-giat belajar deh, apalagi bidang yang kalian suka dan nantinya bakal dipake lagi di perkuliahan. dan tentu aja, kita juga harus belajar pelajaran kuliah itu sendiri dong. meskipun dasarnya cuma pengembangan, apalagi kedokteran yang sebagian besar mengembangkan pelajaran biologi (ya iya lah-_-). aku disini juga punya target buat lulus persis 5 tahun; 3,5 tahun pendidikan teori dan 1,5 tahunnya lagi pendidikan profesi alias koass. doain aja deh semoga keinginanku yang itu tercapai muehehe. 

oke, sekian dulu dari aku. kapan-kapan aku sambung lagi dengan cerita-cerita soal dunia baruku ini. ciao!

photo gallery:

me, Rara, Putri, Cut Nad, Hasna. abis berkutat sama punksi vena hahaha

Hasna, Cut Nad, Rara, Putri, me, and Ocik. ceritanya tombo ngantuk abis dengerin kuliah pakar muehehehe

di PKA nih. Afiya, Rara, mas-mbak-yang-di-PKA, Hasna, me, and Isna.

wanita-wanita perkasa dari B-03 nih. ada Hasna, Putri, Rara, Nana, Cut Nad, Rina, me, and Pita.

foto sama adek jepang ganteng waktu makan di kantin jepang. Hasna, Putri, me, and Rara.

ini nih stetoskop pertamaku muahahaha unyu kan warnanya warna favoritku, merah:3