19.3.12

part 1

'Sekali-sekali rambut kamu panjangan dikit kek! Betah banget sih jadi mas-mas gadungan kaya gitu' omelan Nadira sama sekali tak aku hiraukan. 'Ve, kamu dengerin aku nggak sih?' akhirnya Nadira sadar bahwa semua perkatannya selama 10 menit terakhir ini tak aku hiraukan sama sekali. 'Hah? Oh, iya Nad, aku dengerin kok' jawabku sambil masih sibuk berkutat dengan laptop dan makalah fisika yang dari kemarin tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Merasa bahwa aku masih mendengarkan, Nadira melanjutkan dongengnya dengan antusias dan dengan topik yang sama: rambutku. Satu menit, dua menit, tiga menit, empat menit. Konsentrasiku mulai pecah karena Nadira masih berbicara dalam topik yang sama. Aku sama sekali tidak suka, bahkan terkesan menghindari, saat orang mulai mengomentari penampilanku, apalagi mengenai rambut. Memang Nadira sudah menjadi sahabatku selama 4 tahun. Kami saling terbuka, tidak ada yang kami tutup-tutupi. Istilahnya, tidak ada rahasia-rahasiaan. Semua sifat positif dan negatif Nadira juga sudah aku anggap hal yang biasa dan bukan lagi menjadi sebuah masalah. Begitu juga dengan Nadira. Tapi sebenarnya aku menyembunyikan satu cerita dari Nadira. Dan bukan hanya Nadira yang tidak tahu, semua orang yang mengenalku juga tidak tahu mengenai cerita itu. Cerita mengenai mengapa aku begitu tidak menyukai rambut panjang, dan juga warna merah.

***

Sore itu tidak seperti biasanya. Vena tak mau keluar dari kamarnya untuk bersepeda mengelilingi komplek perumahan bersamaku. Katanya, perutnya sedang sakit. Aku masih tetap bersikeras mengajaknya agar ia mau bersepeda bersamaku, meskipun hanya sebentar. Aku merengek kepada mama agar beliau mau membujuk Vena untuk pergi bersepeda denganku. Namun mama hanya tersenyum dan berkata 'Sayang, Vena itu sedang sakit. Coba kamu aja yang muterin komplek sini sendirian naik sepeda. Nggak akan ada penculik atau hantu kok, kan ada pak satpam di depan rumah' aku terdiam sambil mencerna perkataan mama barusan. Aku tidak tahu apa yang ada di pikiranku saat itu, namun aku sudah berada diluar pagar rumah sambil menuntun sepeda wim cycle unguku. Rasanya aneh sekali bersepeda sore sendirian tanpa ditemani Vena. Biasanya kami akan berbincang mengenai es krim coklat, lolipop bikinan mama, dan boneka teddy bear usang di gudang yang konon kalau malam akan keluar dari gudang dan menjaga kami saat tidur malam. Pak satpam yang biasanya menjaga rumah kami menatapku dengan heran. 'Non, kok sendirian? Non Vena nggak ikut ya?' tanpa sedikitpun menoleh kearah pak Mun, satpam yang sudah mengabdi selama 20 tahun pada keluarga kami, aku hanya menggeleng pelan sambil menaiki sepedaku dan mulai mengayuhnya. 'Hati-hati ya, Non. Awas ada ayah datang nanti' dan sekali lagi aku tidak terlalu memperhatikan apa yang dikatakan satpam berambut cepak bak tentara itu. Namun kalimat di bagian belakang perkataan pak Mun sempat membuatku tersentak. Dan benar saja, belum genap aku melewati 3 rumah, sebuah CRV merah datang dari arah berlawanan dan membuatku segera memutar balik sepedaku dan menangis sejadinya.

***

Panik. Itulah yang kurasakan siang ini. Pelajaran bu Restu akan dimulai beberapa menit lagi dan makalahku tertinggal di rumah. Bagus, aku akan mati sebentar lagi, pikirku. Bu Restu itu bukan guru biasa. Beliau adalah guru fisika paling killer di sekolahku, yang juga merangkap sebagai wakasek kesiswaan. Nadira mencoba menyabarkanku dan memastikan bahwa printer di ruang fotokopi sekolah tidak kehabisan tinta. Namun semuanya sia-sia, printer tua ini ternyata kehabisan tinta, seperti biasa. 'Nad, gimana nih? 5 menit lagi bu Restu sudah masuk kelas' Nadira yang sama paniknya denganku hanya celingak-celinguk tidak jelas. Mas-mas penjaga ruang fotokopi di dekat parkiran motor juga ikut kebingungan. Dia sudah menyarankan agar kami keluar sekolah dan menuju warnet terdekat, namun rupanya satpam sekolah kurang bersahabat pagi ini.
Bel pelajaran bu Restu baru saja berbunyi. Aku benar-benar merasa nyawaku akan melayang sebentar lagi. Nadira mengacak-acak rambutnya, lalu berdecak sebal. Kami berdua putus asa dan memutuskan kembali ke kelas dengan perasaan campur aduk. Langkah kakiku terasa sangat berat untuk saat ini. Apalagi lagi kelas kami berada di lantai 2. Hormon adrenalinku serasa melonjak naik produksinya, membuat jantungku bekerja lebih cepat. Nadira sempar beristighfar beberapa kali, sementara mulutku komat-kamit membaca bismillah. Benar saja, saat tiba di depan pintu kelas, raut wajah bu Restu seperti macan kelaparan yang akan segera menerkamku. Aku menelan ludah sambil berusaha berpikir positif, namun gagal. 'Darimana saja kalian?' nada bicara bu Restu sudah mulai tidak enak didengar. 'Kami da....dari ru....ruang fotokopi, bu' ujar Nadira gemetaran. 'Ngomong yang jelas!' 'Kami dari ruang fotokopi, bu!' kataku setengah berteriak. 'Ya sudah, kembali ke tempat duduk kalian' kami berlari kecil menuju bangku nomor tiga di pojok dekat jendela, dengan masih berharap ada dispensasi pengumpulan tugas. Tidak peduli meskipun nilaiku harus dipotong, paling-paling juga SKM.
Bu Restu masih berbasa-basi soal SNMPTN Undangan, seperti biasa, namun tetap saja aku tidak bisa tenang. Raut wajah Nadira juga tidak berubah semenjak tadi, masih tetap panik. Rambutnya yang terurai panjang cepat-cepat ia kucir tanpa menyisir rambutnya terlebih dahulu. Kami saling berpandangan, seolah-olah kami bisa saling membaca pikiran. 'Oh iya, kalian ada tugas makalah tentang fluida, teori kinetik gas, dan termodinamika kan? Kumpulkan ya, tidak ada dispensasi' jantungku serasa copot. Nadira mendesah pelan. Ya sudahlah, paling-paling disuruh keluar kelas lalu menulis pernyataan orang tua. 'Ve, sorry ya, aku ngumpulin duluan tugasnya' aku menangguk pelan sambil tersenyum. Nadira melangkahkan kakinya dengan berat ke meja guru, meletakkan makalah 40 halamannya keatas meja, lalu kembali dengan raut wajah yang tidak berubah sama sekali, masih tetap panik. 'Sudahlah, Nad. Nggak apa-apa kok. Paling cuma disuruh keluar kelas deh, beneran' ucapku menenangkan Nadira. Begitulah Nadira, yang tertimpa musibah siapa, yang heboh siapa. 'Yang tidak mengumpulkan, apapun alasannya, harap segera keluar kelas sekarang. Jangan lupa besok surat pernyataan orang tua ya' Nadira menatap kearahku, aku hanya tersenyum kecil dan melangkah keluar kelas.
Rupanya aku tidak sendirian, ada Radit yang sudah lebih dulu berada di luar kelas tanpa disuruh. Hampir setahun aku berteman dengan Radit, tapi kami sama sekali tak pernah bercakap-cakap. Bahkan menyapa saja jarang. Sebenarnya wajah Radit lumayan juga menurutku, mirip dengan Zayn Malik. Hanya saja kulit Radit agak lebih gelap dari Zayn Malik. Wajahnya juga lebih arab lagi. 'Nggak bawa makalah juga ya, Dit?' Radit hanya mengangguk pelan. Tak tampak sedikitpun raut wajah bersalah di wajahnya. Dasar cowok, semuanya sama saja, batinku. 'Kamu ngumpulin besok makalahnya?' Radit segera merubah posisinya yang daritadi bersandar di tembok balkon koridor sambil memperhatikan anak kelas 10 berolahraga di lapangan, lalu menatap ke arahku. Aku tersentak. 'Oh, uhm, iya lah. Kalau kelamaan bisa-bisa nilaiku nggak SKM lagi' ujarku sambil duduk selonjoran sambil bersandar ke tembok balkon koridor. Rupanya Radit juga melakukan hal yang sama denganku, hanya saja kaki Radit ditekuk. 'Kalau gitu besok kita ngumpulin bareng aja, Ve' ujarnya sambil tersenyum kecil. Aku tersentak, dan kali ini benar-benar terperanjat. Senyum Radit benar-benar sukses membuat kupu-kupu di perutku beterbangan. Ada sebuah rasa yang berdesir sepintas di seluruh tubuhku, membuat jantungku kembali bedetak cepat. Aku terhipnotis, lalu mengangguk tanda setuju.

***

Hidup di keluarga yang broken home itu tidak mudah. Ayah dan ibuku memang sudah mengajukan perceraian ke pengadilan negeri tak jauh dari rumahku, namun kasusnya masih belum juga disidangkan. Aku memang tidak pernah mau tahu urusan orang tua. Lagipula aku setuju-setuju saja jika ayah bercerai dengan mama. Watak ayah yang keras dan kasar membuatku menganggap rumah adalah neraka kecil bagiku. Dari kecil aku tidak pernah melihat ayah berbicara dengan nada lembut, apalagi tersenyum. Aku sudah lelah menangis melihat mama yang selalu menjadi korban tangan ringan ayah, juga Vena yang rambut panjangnya sering menjadi sasaran ayah untuk dijambak sampai menangis. Aku tidak pernah menjadi sasaran jambakan ayah karena aku selalu mengucir rambutku, namun aku sudah terbiasa dengan gagang sapu yang selalu mendarat tepat di tangan kananku saat aku tidak menjalankan tugas dari ayah dengan baik. Entah apa yang membuat ayah menjadi begitu kasar. 
Pagi itu adalah hari pertamaku masuk SMP. Dengan senyum lebar aku memakai rok biruku dengan bangga. Mama nampak tersenyum, meskipun aku tahu beliau baru saja berhenti menangis. Pasti ayah pergi dari rumah lagi dan bermain dengan selingkuhannya, pikirku. Aku memeluk mama. Rupanya air mata beliau kembali meleleh. 'Sudahlah, ma. Ngapain nangisin orang kaya ayah' mama melepaskan pelukannya dan tersenyum dalam tangisnya. Hatiku sudah biasa tersayat-sayat melihat mama yang selalu menangisi ayah. Luka yang ditinggalkan ayah masih begitu berbekas, baik di tangan kananku, maupun di hatiku. 'Sudah jam 6 pagi, Ve. Mama panggil Vena dulu ya, lama sekali dia ganti bajunya' mama berlari ke kamar Vena di lantai 2, sementara aku berjalan ke dapur dan memasukkan sekotak bekal beserta minumnya ke dalam tasku. Belum sempat aku menutup rapat resleting tasku, mama berteriak keras. Aku membanting tasku yang sudah ku pakai ke lantai dapur dan menghampiri mama. Betapa terkejutnya aku saat tiba kamar Vena. Banyak sekali bercak darah di kamarnya. Vena tergeletak lemas tak berdaya. Matanya sembab, wajahnya pucat. Aku masih ternganga di depan pintu kamar Vena, membiarkan butiran-butiran air mataku terjun bebas ke seragam putih baruku. Saudara kembarku itu menatap kearahku, tersenyum sesaat, lalu menutup matanya untuk selamanya, dengan rambut panjang tergerainya yang penuh dengan darah dan silet yang masih tergenggam di tangannya. Seragam putih-birunya juga ternodai oleh darah yang tak henti-hentinya mengucur dari pergelangan tangan kirinya. Badanku lemas. Separuh jiwaku telah pergi untuk selamanya. Teriakan mama semakin menjadi dan berubah menjadi tangis. Aku tersujud. Dan, brak! Aku lupa segalanya.

***

'Ve, ngumpulin sekarang yuk? Surat keterangan dari orang tuanya udah kamu bawa kan?' tiba-tiba Radit datang dengan senyum manisnya itu saat aku sedang asik bermain remi bersama Nadira dan beberapa anak lain di bangkuku. Secara otomatis, kupu-kupu di perutku kembali beterbangan. Aku berusaha kembali fokus pada kenyataan setelah sesaat terbang bersama kupu-kupu itu, dan berhasil. Aku menoleh ke belakang, membongkar tas, mengambil makalah fisika yang nilainya sudah dipastikan akan terpotong menjadi SKM itu. 'Yuk, Dit. Udah kok, ini aku bawa' aku beranjak dari bangku dan berpamitan dengan Nadira. Sepanjang perjalanan menuju ruang guru, kami berdua sibuk menetili makalah masing-masing agar tidak ada bagian yang kurang atau terlewat. Paling tidak, nilai 75 pada makalah kami itu adalah nilai yang benar-benar ikhlas, sehingga kami tidak akan menjadi bahan sindiran bu Restu di kelas soal nilai bantuan atau apalah itu. 'Udah bener nih? Yakin ya?' Radit berhenti persis di depan pintu ruang guru dalam ragunya. 'Udah, bismillah aja bener, Dit. Coba ngumpulin dulu aja lah daripada nilai kita kosong' ucapku sambil membuka pintu ruang guru. Udara segar dari pendingin ruangan menyeruak masuk ke tubuhku. Rupanya bu Restu sudah menunggu kami. 'Mbak, mas, kemari. Kalian pasti dari XI IPA 6 ya?' 'iya, bu' jawabku pelan seraya berjalan ke meja bu Restu yang berada di pojok belakang ruang guru. 'Pantesan itu guru serem abis, duduknya aja pojok belakang. Gelap lagi' bisik Radit di telinga kananku, yang sontak membuat kami tertawa kecil. Untung saja bu Restu tidak memperhatikan kami. 'Ini tugasnya, bu. Ini surat pernyataannya juga' ujar Radit sopan kepada bu Restu. 'Sudah lengkap kan? Oke, kalian boleh meninggalkan ruangan ini. Terima kasih' dingin. Tidak ada tanggapan lain mengenai makalah kami itu. Bukannya membaca, beliau malah membanting makalah kami ke tumpukan makalah lain di bawah. Cukup sakit hati aku melihatnya. Jerih payahku selama seminggu hanya dibanting dan tidak dibaca sama sekali. Aku tahu Radit juga merasakan hal yang sama, wajahnya nampak memerah. Mungkin Radit mencoba menahan amarahnya, pikirku. Setelah pamit, kami meninggalkan ruang guru. Kami hanya terdiam, sebelum akhirnya Radit membuka mulutnya dan mulai mengomel. 'Sialan, makalah kita cuma dihargai dengan bantingan dan tatapan acuh tak acuh. Guru macam apa dia!' ini mungkin terdengar gila, tapi saat Radit marah justru wajahnya jadi semakin membuat tubuhku terasa ringan dan terbang. 'Ya emang gitu kan sifatnya bu Restu. Udahlah, mendingan ke kantin aja. Butuh ekstra kesabaran menghadapi guru macem bu Restu' Radit menyetujui ajakanku ke kantin, dan masih melanjutkan omelannya tentang tugas fisika itu. Lucu juga mendengar Radit mengomel seperti ini. Apalagi aku termasuk baru dekat dengannya kemarin.

*to be continued....