18.12.11

Kertas

Aku masih termenung di hadapan kertas putih itu, menunggu agar pikiranku mau menuangkan isi kedalamnya, menunggu agar tanganku menari seiring dengan berjalannya detik-detik jam dinding yang terdengar jelas. Sudah 10 menit berlalu, tapi aku masih belum bisa mendapatkan apa yang aku inginkan: ide. Sesekali aku memukul-mukulkan penaku ke meja gambar dengan harapan agar ide itu datang lebih cepat. Namun ternyata itu tidak berhasil. Kertas putih itu masih tetap kosong melompong tanpa ada satupun goresan di atasnya. 

Aku putus asa. Ingin rasanya aku beranjak dari meja gambarku dan berjalan ke dapur untuk sekedar minum teh dan menikmati hujan. Tetapi tampaknya kertas dan pena ini seolah mencegahku untuk beranjak, memaksaku untuk tetap mencari ide itu. ‘Baiklah kertas, kalau ini maumu aku akan tetap duduk disini. Aku janji tidak akan meninggalkanmu sebelum aku menggoreskan sesuatu di atasmu’. Mungkin aku tampak seperti orang gila saat berbicara sendiri kepada kertas putih itu. Dia tidak menjawab, tentu saja. Dan kertas itu masih tetap kosong.

Sudah nyaris satu jam, tetapi kertas itu masih tetap kosong. Aku sendiri tidak tahu kenapa aku bisa sesulit ini mendapatkan ide, padahal sebelumnya aku sangat mudah mendapat ide. Semacam gambaran akan jadi apa karyaku nanti. Tetapi ini beda. Aku bahkan nyaris lupa kenapa aku mengambil kertas putih dan pena lalu duduk tenang di meja gambarku.

Aku putus asa dan memutuskan untuk menatap kearah hujan melalui jendela kecil di depan meja gambarku. Aku tidak merdengar suara lain selain suara hujan di telingaku saat ini. Suaranya tetap sama, menetes dengan ramai di atas genting rumahku. Aku terus memangdang ke arah derasnya hujan. Cukup lama aku memandangi hujan yang turun ramai-ramai itu, sebelum bayangan sesosok laki-laki muncul di pikiranku. 

Laki-laki itu pernah ada di hidupku, dan dia adalah orang yang telah merubah total pandanganku soal apa arti hidup sesungguhnya. Ia sering membuatku tertawa terbahak-bahak, juga menangis tersedu-sedu. Ia tidak pernah bosan mendengarkan ceritaku soal Paris, dan keinginanku tinggal di apartemen dengan menara Eiffel sebagai pemandangan setiap aku bangun tidur. Aku juga sering menatap wajahnya lekat-lekat saat ia tengah terdiam, seolah sedang memikirkan sesuatu. Kemudian ia akan memalingkan wajahnya kearahku, lalu melemparkan senyum paling indah yang pernah kulihat. 

Aku masih ingat betul saat aku berlari memeluknya sambil menangis saat ibu memarahiku hanya karena nilai-nilaiku yang sama sekali tidak membuatnya senang. Ia hanya tersenyum dengan tenang, seolah dunia ini bulat. ‘Ibumu hanya ingin yang terbaik darimu, Jane. Dan kau belum memberikan yang terbaik untuknya’ ‘lalu apa yang harus aku lakukan?’ ‘Menggali apa yang belum kau gali dari dirimu’ 

Ia mungkin sudah lupa kejadian di bawah pohon sore itu, tapi aku masih mengingatnya hingga sekarang. Saat itu aku tengah asyik berkutat dengan kertasku, menggambar seekor kelinci yang berlarian di padang rumput. Lalu kemudian ia datang membawakanku sekotak cat air. ‘Sekarang gambaranmu tidak akan lagi berwarna hitam putih seperti itu. Dengan alat ini, gambaranmu akan jadi lebih berwarna bukan? Aku tahu kau sudah menginginkan alat ini sejak lama, hanya saja uang tabunganmu tidak cukup untuk membelinya kan?’ Aku terdiam. Darimana ia tahu soal ini? Apakah ia membuka buku harianku yang aku biarkan terbuka di kamarku semalaman?

Siang itu aku melihatnya duduk di bawah pohon yang sama dimana ia memberiku sekotak cat air itu. Kini cat air itu sudah habis, dan aku bermaksud untuk memintanya menemaniku membeli cat air yang baru di toko kecil di seberang bukit. Aku berlari dengan riang menuju ke tempat ia duduk, dengan membawa sekantung uang receh yang telah aku kumpulkan untuk membeli cat air yang baru. Namun belum sempat aku berkata, ia segera berdiri dan memelukku. Erat. Erat sekali. 

‘Kau ini kenapa? Kau sedang sedih?’ ‘Tidak, Jane’ ‘lalu?’ Ia tidak menjawab. Ia tetap memelukku dengan erat. Bahkan lebih erat dari sebelumnya. ‘Sebenarnya kau ini kenapa? Jawab pertanyaanku!’ aku memang agak memaksa, karena sudah selama ini dan ia belum angkat bicara juga. ‘Kau mau apa? Maksudku, apa yang bisa aku lakukan untukmu saat ini? Apapun. Katakan padaku’ ‘kau ini kenapa?’ ‘Sudahlah, Jane. Jawab saja pertanyaanku’ ‘baiklah, tolong antarkan aku ke toko kecil seberang bukit agar aku bisa membeli cat air baru, cat air pemberianmu sudah habis’ tanpa banyak suara ia segera menggeretku menuju sepeda hitam miliknya. ‘Naiklah’

Aku masih tidak mengerti mengapa raut wajahnya begitu kusut. Aku tidak berani bertanya karena takut mengganggu konsentrasinya mengayuh sepeda. Sungguh, tidak biasanya ia semuram ini. Dan jujur, aku tidak bisa melihat ia terus muram seperti ini.

‘Sebenarnya kau ini kena..’ ‘aku akan pindah dari sini, Jane. Malam ini. Ayah dan ibuku memaksaku untuk ikut mereka pindah ke London, dan aku tidak bisa menolaknya’ aku terdiam. Bibirku serasa kaku. ‘maafkan aku, Jane. Mungkin kau akan sangat sedih mendengarnya. Tapi aku lebih sedih lagi karena akan meninggalkan sahabat sepertimu’ mataku mulai terasa panas dan berair, hingga aku tidak bisa menahannya lagi. Air mataku tumpah begitu saja di hadapannya. ‘Jangan menangis, Jane. Aku mohon’ tapi semuanya sudah terlambat, aku sudah terlanjur sedih mendengarnya. Sangat sedih.

Malam itu keluarganya berpamitan denganku, juga ayah dan ibuku. Aku hanya menatap wajahnya dengan lesu dan pasrah sambil melambaikan tangan tanda perpisahan. ‘Aku akan kembali lagi suatu hari nanti, Jane. Aku berjanji’ ia tersenyum penuh harap. Namun ada setumpuk kesedihan di balik senyumnya. Senyum yang tidak lagi seindah biasanya. Senyum yang cenderung dipaksakan, menurutku. Aku membalas senyumnya, dengan lambaian tangan yang semakin kencang. 

Aku ingat betul, malam itu aku tidak bisa tidur. Aku terus memikirkan sosoknya. Betapa bodohnya saat itu aku hanya bisa menangis, bukannya membuat ia mengenang saat-saat terakhir bersamaku sebelum hari kepindahannya tiba. Aku terus menyalahkan diriku. Hingga aku kelelahan sendiri dan tertidur dengan linangan air mata.

Saat itu tepat 2 tahun kepindahannya, dan ia belum juga kembali. ‘Kemana saja kau ini? Kenapa kau tidak menepati janjimu sendiri? Malam ini tepat 2 tahun kau meninggalkanku, dan kau masih belum juga kembali’ aku tahu aku tidak cukup kuat untuk menahan kesedihanku yang mendalam. Aku seharusnya menggali apa yang belum aku gali dari diriku, persis seperti kata dirinya. Aku seharusnya membuat duniaku lebih berwarna dengan mencoba hal-hal baru, tapi aku tidak melakukannya. Aku terlalu larut dalam kesedihan ini selama 2 tahun lamanya. Hingga aku lupa apa yang aku alami dan menyadari diriku tengah terbaring di rumah sakit.

‘Aku dimana bu?’ ‘Kau sedang berasa di rumah sakit, Jane’ ‘aku sakit ya bu?’ Ibuku hanya tersenyum dalam diam. ‘Ibu, jawab pertanyaanku!’ Ia melakukan hal yang sama dengan yang ia lakukan waktu itu, membiarkanku penasaran dengan beribu pertanyaan yang tak sempat aku ungkapkan. Aku melihat sekeliling, dan mendapati ada perban di perut sebelah kiriku. ‘Bu, apa ada seseorang yang menembakku dari jendela saat itu?’ Ibuku masih terdiam dalam senyumnya. ‘Sebentar lagi kau akan tahu, Jane’

Ibu memindahkan tubuhku ke atas kursi roda berwarna biru tua, warna kesukaanku. Aku keluar dari kamar, dan menyadari matahari sudah bersinar dengan cerahnya. Tapi ini aneh, aku nampak seperti bayi yang baru merasakan hangatnya sinar matahari. Aku serasa menjalani hidup untuk yang kedua kalinya. ‘Kau senang kan akhirnya bisa melihat sinar matahari lagi, nak?’ Aku hanya mengangguk senang. Sementara ibu terus mendorong kursi roda dan membawaku entah kemana.

‘Tutup matamu ya, Jane. Ini akan menjadi sebuat kejutan untukmu’ ada yang aneh saat ibu mengatakan ‘kejutan’. Intonasinya tampak buruk, dan sepertinya ini bukan kejutan yang baik. Aku menutup mata dan mencoba menampik pikiran itu jauh-jauh dari otakku. Pelan-pelan ibu dan ayahku menurunkanku dari mobil, memindahkanku ke kursi roda, lalu mendorongnya. Aku mencium bau padang rumput hijau yang luas, namun sepertinya ini bukan padang rumput yang biasa aku datangi, dimana ada pohon mangga besar di tengahnya, dan aku bisa duduk di bawahnya untuk menggambar apapun yang aku lihat. Bau rumput-rumput ini aneh. Sangat aneh.

‘Sekarang bukalah matamu, Jane’ ibu melepaskan kain hitam dari kedua mataku. ‘Jangan terkejut ya, Jane. Ibu tahu ini akan berat sekali bagimu’ terlambat. Sekujur tubuhku lemas. Mendadak rasanya kepalaku akan pecah. Jantungku seperti berhenti berdetak selama 2 detik. ‘Bu, ini mimpi kan?’ Ibu tidak menjawab. Beliau malah menangis dan membelai rambutku. ‘Ibu, ibu bohong kan?’ suaraku bergetar. Aku masih tidak percaya atas apa yang aku lihat. Ini terlalu tidak mungkin untuk jadi kenyataan. Ini semua adalah mimpi.

‘Sakit hatimu kambuh malam itu dan kondisimu sudah sangat parah, nak. Dokter sudah mencoba menyelamatkan dirimu, membuat hatimu tetap berfungsi seperti sediakala. Namun terlambat, hatimu sudah terlalu tidak mungkin untuk disembuhkan. Hingga kemudian ia datang jauh-jauh dari London untuk menjenguk keadaanmu. Ia menangis saat mengetahui keadaanmu kritis dan nyaris tak tertolong. Kebetulan sekali saat itu dokter sedang membutuhkan donor hati untukmu. Dengan senang hati ia menawarkan hatinya pada dokter untuk didonorkan kepadamu. Dan sekarang hati yang ada dalam dirimu adalah jantung miliknya. Mungkin ia tidak menepati janjinya akan kembali menemuimu seperti yang ia katakan 2 tahun lalu, namun secara tidak langsung ia telah kembali, dan mungkin dalam sesuatu yang tidak kau harapkan. Sesungguhnya ia sudah kembali, Jane. Ia kembali kepadamu, ke dalam dirimu. Meskipun jasadnya sudah tidak bisa lagi kau lihat.’ 

Aku tidak tahu harus berkata apa. Terlalu sombong diriku jika aku tidak menangis saat ini. Air mata kesedihan yang bercampur dengan rasa haru dan terima kasih. Benar apa yang dikatanakan oleh ibu, sesungguhnya ia telah kembali, dan memang bukan dalam sesuatu yang aku inginkan. Aku tahu ia akan lebih sedih lagi saat ia menemuiku dalam keadaanku yang sakit parah seperti itu.

Dan hingga hari ini, 15 tahun setelah kejadian itu, aku masih bisa merasakan kehadiran sosok sahabat sepertinya. Ya, karena aku memiliki hatinya dalam diriku. Dan ternyata dengan cara ini ia kembali padaku, dan tidak akan pernah meninggalkanku. Aku masih bisa merasakan ia hidup, hidup di dalam diriku. Meskipun ia sudah tidak bisa lagi melihatku dan duduk bersama di bawah pohon mangga di padang rumput seperti dulu. Ia juga tidak akan bisa menggendong bayi yang ada di dalam perutku ketika bayi itu lahir ke dunia. Tapi setidaknya ia bisa melihatku dari surga, melihatku menggendong bayiku, juga melihatku tertawa bersama suamiku yang tidak lain tidak bukan adalah kakaknya sendiri. 

Tidak terasa kini kertas putih itu telah penuh dengan coretan. Coretan yang membentuk sesosok manusia. Ya, sosok itu adalah Alex, sahabatku yang sekarang hidup di dalam diriku. Aku sengaja menggambar wajahnya saat terakhir kali aku bertemu dengannya 17 tahun lalu, sama persis, karena aku masih hafal bagaimana raut wajahnya. Aku tersenyum puas. Ini adalah karya terbaikku semasa hidup, menggambar sesosok orang yang sangat berarti bagiku, sesosok sahabat yang selalu ada dan bisa menerimaku apa adanya, juga menerima sakitku seperti sebuah kelebihan dalam diriku. 

Sekarang inilah aku, Jennifer Rowena Campbell, pelukis terkenal dari Birmingham, hidup dengan segala impian yang aku impikan dari kecil, dan sekarang aku tinggal di apartemen dengan pemandagan menara Eiffel di setiap aku bangun dari tidurku. Aku sudah berhasil mencapai apa yang seharusnya aku gali dari diriku, dan membuat hidupku lebih berwarna, bahkan orang lain sekalipun. Dan hal paling menyenangkan lainnya adalah kertas putih ini sudah tidak lagi kosong.

Terima kasih, Alex.