8.7.14

Masih Tentang Kenapa

Kegiatan rutin tiap malemku masih sama: merenung. Dan hal yang direnungkan juga nggak jauh-jauh banget berubahnya.

"Kenapa sih Tuhan naruh aku di kedokteran?"

Tiap hari aku duduk di kelas, dengerin dokter yang asik pencet-pencet pen light sambil nyerocos gatau apaan, tapi sejauh ini tanda tanya dan  "kenapa" itu masih aja nempel di otak. Buku-buku setebel bantal berasa kertas kosong yang nggak ada isinya.  Sederet hafalan checklist pemeriksaan fisik berasa struk belanja bulanan di Indomei. Aku nggak fokus. Aku nggak fokus. Ini bukan tempatku, mana mungkin aku bisa nyaman?

Kurang lebih setahun aku ngejalanin kehidupan di Aceh dengan penuh tanda tanya. Bahkan kesibukanku di organisasi kampus dan BEM juga belum mampu ngehapus 2 hal yang sebenernya nggak bakal pernah ada jawabannya, sebelum Tuhan yang memberikan jawabanNya, dan tentu, tidak sekarang. Hingga akhirnya hari-hari yang dinantikan anak-anak rantau pun tiba: pulang kampung.

Udah nggak bisa diukur lagi betapa senangnya aku bisa kembali lagi ke tanah kelahiranku, Surabaya. Aku ngerasa kaya hidup kembali, merasakan lagi hiruk-pikuk kesibukan kota terbesar kedua di Indonesia. Namun ada satu hal yang aku tidak siap: menyadari kalau impianku menjadi mahasiswi DKV di salah satu institut negeri terkemuka di Surabaya, bahkan di Indonesia itu, benar-benar sudah lenyap seutuhnya; menjadi mahasiswi ITS. Hari pertama aku tiba di Surabaya, entah kenapa rasa pedih itu langsung muncul gitu aja. Ya Tuhan, tenangkanlah diriku, batinku dalam hati. Sejujurnya aku masih sering menangis, kenapa aku nggak bisa jadi kaya mereka yang beruntung bisa ngerasain jadi anak DKV. Dan lagi-lagi, kenapa. 

Hari kedua, akhirnya aku nekat buat nyobain lewat depan ITS. Suhu tangan dan kakiku mendadak turun. Badanku gemetar. Mataku mulai panas. Tapi demi memenuhi keinginan hati yang pengen banget diuji (lagi), aku teruskan niatku. Pelan-pelan aku lewatin jalan itu. PENS, lewat. Grha ITS, lewat. Belok kiri, ada palang tulisan Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Ah, gagal.

Air mataku udah keduluan jatuh. Aku tutup kaca helm rapat-rapat, aku pacu motorku dengan kecepatan diatas rata-rata, dan langsung melesat pulang. Masih dalam status gagal move on juga aku ternyata. Sebenarnya dalam hati juga sebel sendiri, kenapa sih masih nggak kuat aja? 

Hari ini tepat 12 hari aku menghirup udara di tanah kelahiranku. Dan udah 11 kali juga aku lewat depan ITS. Tapi sayang, hasilnya masih sama; nangis. Sugesti untuk tegar dan motivasi untuk terus berpikir positif, kayanya udah nggak ada gunanya lagi. Despro. DKV. Despro. DKV. Ah, kenapa sih?!

Tapi, malam ini, aku nyoba lagi lewat depan ITS. Kali ini, sengaja aku jalan pelan-pelan, nggak peduli orang-orang pada mencet-mencet klakson gara-gara aku yang jalannya kaya siput bangun tidur. Memang sih masih nangis, malah tadi belum sampai di depan PENS aja udah banjir. Dengan gaya sok kuat aku masih jalan pelan-pelan. Tapi ada satu pikiran terlintas dipikiranku.

Kalau aku nggak jodoh buat jadi mahasiswi ITS, siapa tahu jodohku justru jadi dosennya, jadi tenaga pengajarnya!

Aku berhenti persis tepat di depan tulisan Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Pura-pura main HP padahal sebenernya asik mandangin tulisan kampus yang pernah menjadi impianku, bahkan mungkin sampai saat ini, dan seterusnya. Aku tersenyum, dan lagi-lagi sok tegar. Yah, manusia boleh dong punya mimpi, punya harapan. Asalkan ada doa dan usaha, ditambah tawakkal, mungkin Tuhan mau berbaik hati mewujudkan impian yang mungkin menurut beberapa orang adalah mimpi yang sepele. Kunyalakan lagi sepeda motorku, aku buka kaca helm lebar-lebar, dengan kecepatan normal aku pulang sambil menikmati angin malam. 

Waktu menunjukkan pukul 21.06 WIB saat aku tiba di rumah. Aku sadar, hari ini aku belum menyentuh HP dan tabletku seharian. Dan benar saja, 25 missed calls, 13 SMS, 314 chat line, dan 11 chat BBM. Luar biasa. Aku buka semuanya satu-satu. Tumben nih nggak ada yang ngirim chat nggak penting. Tapi ada beberapa pesan yang sebenarnya udah sering aku terima dan aku dengar, tapi maknanya jadi lain banget hari ini.

"Ren, gimana? Udah selesai desain posternya?"
"Ren, desain ID Card udah selesai belum?"
"Ren, gimana konsep video buat penerimaan maba nanti?"
"Dek Renda, gimana majalahnya? Layout sudah selesai? Covernya ada kesulitan?"

Ternyata teman-temanku di Aceh, mengirim pesan yang sama berulang-ulang karena aku hari ini sama sekali nggak pegang HP. Aku tersenyum sambil membalas satu-satu pesan mereka. Memang, desain pesanan mereka udah aku kerjakan semua dan siap dikirim lewat email. Aku buka laptopku, aku buka file yang judulnya "Desain" dan tanpa aku sadari, udah puluhan desain poster, ID card, spanduk, pamflet, brosur, buletin, berbaris rapi disana. Dan semuanya adalah hasil kerjaku, yang alhamdulillah sejauh ini nggak pernah ada komplain 'kurang puas'. Yah, setidaknya kesenanganku masih bisa tersalurkan, dan lebih bahagianya lagi, banyak orang yang tersenyum senang karena karya-karyaku, dan buatku, itu udah lebih dari cukup.

benda-benda ini adalah hiburanku, obat paling ampuh buat ngilangin badmood.

Belum selesai sampai disitu. Beberapa hari lalu aku sempat juga nge-share video tentang nasib para dokter di Indonesia. Aku masih inget banget gimana isinya. Di video itu diceritain kalau jadi dokter itu susahnya minta ampun. Sekolahnya aja udah lama banget, apalagi kalau ambil spesialis dan sebelumnya juga ambil magister atau S2 (dan spesialis itu bukan jenjang S2). Biaya sekolah di S1 kedokteran, terutama di pendidikan dokter, menghabiskan biaya sekitar 98 juta rupiah dalam kurun waktu sekolah minimal 5 atau 6 tahun. Itu baru S1. Namun, para dokter yang bekerja sebagai PNS, hanya digaji 1,5-2 juta perbulan. Jika masih merasa kurang cukup, mereka akan membuka praktek dokter sendiri saat mereka tidak bekerja di rumah sakit. 

"Jadi dokter itu tujuannya dari hati, bukan cari uang. Kalau mau cari uang mending jadi pengusaha aja"


Aku jadi kepikiran beberapa hal. Mungkin Tuhan punya jalan cerita sendiri kenapa aku harus ada di kedokteran. Mungkin Tuhan punya jalan cerita sendiri kenapa aku masih bermimpi bisa jadi warga ITS suatu hari nanti. Mungkin Tuhan punya jalan cerita sendiri kenapa aku harus jauh-jauh ke Aceh, jauh dari rumah, untuk menempuh pendidikan perkuliahan. 

Atau mungkin, Tuhan punya jalan cerita sendiri, yang aku nggak bakalan bisa ngerti apa maksudnya, nggak bakalan bisa ketebak jalan ceritanya, dan yang aku tahu pasti, kalau Tuhan yang bikin cerita, akan selalu berakhir bahagia. Apapun, gimanapun caranya. 

Yang jelas, satu yang pasti masih jadi pertanyaan besar, dan sekali lagi, hanya Tuhan dan waktu yang tahu jawabannya; KENAPA.

20.4.14

Sajak di Secarik Kertasku, Untukmu.

Tak apa, sayang
Tuhan masih menyayangiku hari ini
Walaupun hanya sepatah kata terucap darimu,
Tapi aku tahu,
Kamu telah meluangkan waktumu yang berharga untukku,
Seorang wanita yang hanya bisa memelukmu dalam emoticon,
Dan bukan pelukan sesungguhnya

Tak apa, sayang
Teman-temanku sudah cukup menghiburku hari ini
Walaupun tetap hanya sepatah kata terucap darimu,
Tapi aku tahu,
Betapa kamu sedang disibukkan dengan perjalanan panjang
Dari kota Sriwedari ke kota Pahlawan

Tak apa, sayang
Mendengarmu sampai di rumah dengan selamat saja sudah cukup bagiku
Tak perlu lagi ucapan selamat ulang tahun darimu
Aku tahu kamu ingat
Tapi hanya saja,
Mungkin kamu tak sempat mengucapkan

Tak apa, sayang
Maaf kalau aku terlalu berharap lebih
Beristirahatlah malam ini
Mentari masih menunggumu esok hari
Dan terima kasih masih mau bersamaku sampai hari ini
Mungkin sampai esok, bahkan seterusnya

Tak apa, sayang
Mungkin ini balasmu
Balasanku yang sibuk sendiri dengan kegiatanku saat hari kelahiranmu
Tak apa sayang, sungguh
Kalau ini bukan cinta,
Mungkin aku sudah acuh padamu sedari tadi

Tak apa, sayang
Tak apa

18.4.14

Surga dalam Neraka

"Rene, aku pulang dulu ya!" aku mengangguk perlahan sambil tersenyum, mengiyakan pernyataan teman-temanku yang entah sudah berapa kali aku dengar bersahutan. Aku sendiri masih tak berniat pulang, toh, suasana kelas siang ini tak sepanas biasanya. Tak ada salahnya menikmati barang sepuluh atau lima belas menit.

Aku bangkit dari tempat dudukku, bangku kedua dari depan, berjalan menuju jendela tepat di samping meja guru, duduk manis di atas meja guru yang sudah agak usang itu, menatap kearah lapangan parkir yang mulai kosong. Satu-persatu mobil mulai hilang dari hadapanku, tidak jauh beda dengan riuh suara lelah teman-teman sekelasku lainnya yang tak lagi ramai dan perlahan-lahan berubah menjadi sunyi. Hingga aku tersadar bahwa tinggal aku sendiri saja yang ada di kelas ini.

Aku mengalihkan pandanganku ke seluruh sudut kelas. Mencoba mencari sesuatu yang menarik untuk dilihat. Namun satu-satunya yang menarik hanyalah tasku, yang aku biarkan tergeletak diatas meja dalam keadaan menganga lebar. Kacau balau. Buku-bukuku juga masih berserakan. Tak terbesit di benakku untuk merapikannya. Ah, biar saja, batinku.

"Belum pulang, Rene?"

Sesosok laki-laki berdiri di ambang pintu. Ya, Christopher, teman sekelasku yang menurutku berbeda dari laki-laki yang lain, yang keberadaannya selama setengah semester ini mendadak sering membuat kupu-kupu yang ada di perutku beterbangan, membuat jantungku yang tadinya bekerja normal mendadak tidak stabil. 

"Belum, Chris. Kau juga belum pulang rupanya? Ada perlu apa kau kembali ke kelas?"

"Ah, tidak. Tadinya aku ingin mencari penaku yang tertinggal di...."

"Meja guru, kan? Sepertinya ini memang milikmu"

Aku melemparkan sebuah pena berwarna biru, kemudian ia menangkapnya dengan sempurna. Senyum tak terlalu lebar tersirat di wajah lelahnya. Dingin. Entah apa arti senyumnya itu. Namun belum sempat aku berpikir mengenai arti senyumnya itu, kupu-kupu di perutku sekali lagi kembali beterbangan. Dan sekali lagi, jantungku bekerja tidak stabil. Kelenjar adrenalku mendadak bekerja lebih keras dari biasanya. Mataku terpaku, otakku serasa beku.

"Terima kasih, Rene"

Ia berjalan mendekat, menghampiriku yang sedang duduk manis di meja guru sambil memandangi lapangan parkir. Dan dengan bodohnya, aku masih sibuk menata kembali perasaanku, menyembunyikan sesuatu yang seharusnya dia tidak usah tahu. Aku bingung. Semuanya jadi serba salah.

"Rene? Kau tidak apa-apa?"

Blap! Aku kembali sadar. Syukurlah.

"Ah, ti....ti.....tidak apa-apa kok, Chris. Aku ha....hanya...."

"Melihat ke arah lapangan parkir, kan?"

Aku menoleh padanya dan menggangguk sambil tersenyum. Dan aku temukan satu lagi keagungan Tuhan yang sungguh nyata dan indah, menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang tercipta sempurna. Ya, mata biru milik Christopher. Mata yang menenangkan, sekaligus misterius, namun menyiratkan suatu arti tersendiri. Sekitar tiga detik aku menatapnya, mencoba menerka apa yang ada di dalamnya. Namun batinku goyah, aku kembali tersadar dari halusinasi singkatku. Bodoh, kalau sampai dia tahu arti sirat mataku, bisa mati aku, batinku. Namun Christopher hanya diam. Nampaknya ia tak sadar aku sedang menerka arti sirat matanya yang misterius itu tadi. 

Seketika aku dan Christopher larut dalam diam. Sunyi. Kesunyian yang berbeda dengan kesunyian-kesunyian sebelumnya. Kesunyian yang begitu berarti untukku, mungkin. Dimana dua orang manusia disibukkan dengan pikiran dan imajinasi masing-masing. Lucu juga, jantungku yang tadi seperti akan melompat keluar mendadak mulai tenang, semakin tenang. Aku memejamkan mata sejenak, membiarkan seluruh sel-sel di dalam tubuhku mendengar desiran darahku sendiri, mengalir dari ujung rambut ke ujung kaki, bersamaan dengan sapuan angin sore di wajahku, membuat rambutku seolah menari. Begitu tenang dan damai.

"Aku bisa membayangkan lapangan parkir ini saat pagi hari. Penuh. Riuh. Terkadang kacau, tapi wajah-wajah tidak peduli itu tetap melengos masuk ke neraka ini"

Suara Christopher membuyarkan semuanya. Aku membuka mata dan kembali pada kenyataan bahwa ia memang masih disini, di sampingku, tanpa satu sentimeterpun bergeser menjauh. Matanya masih menatap lekat ke arah langit jingga di luar jendela. Neraka? Tempat ini adalah neraka baginya? Baiklah, untuk alasan tertentu aku terpaksa menahan diri untuk tak menanyakan hal itu padanya. 

“Kau tahu, Rene? Tempat ini adalah neraka”

Tunggu, kau sudah mengatakan hal itu sebelumnya. Tentu saja aku sudah tahu. Yang benar saja!, batinku.

“Namun neraka ini berbeda, neraka yang memiliki surga di dalamnya, meskipun hanya satu, kecil, dan nyaris tidak tampak”

Aku sungguh tak mengerti apa yang ia ucapkan. Surga? Hanya satu? Di tengah neraka? Apa ia sedang bergurau? 

“Hahaha, sudahlah, aku mulai membayangkan yang tidak-tidak. Aku pulang dulu ya, Rene. Terima kasih sudah mau mengembalikan penaku”

Ia melengos begitu saja, meninggalkanku yang masih terpaku menatapnya berjalan pergi. Entah kenapa, melihat hal itu, kata-kata yang entah dari mana datangnya, keluar begitu saja, seolah mengejek kemampuan otakku untuk berpikir lebih cepat dari itu. Kedua kakiku serasa menyuruhku untuk bangkit dari posisi dudukku, memaksaku berdiri, dan pada akhirnya menanyakannya.

“Chris, yang kau sebut surga dalam neraka, i....itu, sebenarnya, a...a....apa?”

Christoper menghentikan langkahnya. Terdiam sejenak, untuk setelahnya berbalik arah dan menatap mataku lekat. Sirat mata itu, aku melihatnya lagi. Sirat mata yang menyiratkan suatu arti tersendiri. Dan kini sirat mata biru itu menatapku lekat, tak membiarkanku melewatkan satu detikpun untuk berpaling. Bahkan berkedip.

“Kau mau tahu apa surga dalam neraka itu?”

“Memangnya apa?”

Christopher terdiam. Mulutnya terbuka seolah ia ingin mengatakan sesuatu, lalu mengatup kembali. Suasana menjadi hening sesaat, sebelum akhirnya ia tertawa kecil sambil tersenyum penuh arti.

“Kau, Rene”

Mataku masih menatapnya, dengan binar ketidakpercayaan. Seluruh tubuhku bergetar. Tangan dan kakiku serempak menurunkan suhunya, bersiap-siap untuk terbang melayang-layang di udara, atau berlarian di bawah guyuran dedaunan jati yang meranggas. Aku terdiam. Terkejut, tidak percaya. Aku? Surga?

“Kau masih tidak percaya, Rene? Baiklah, aku rasa kau butuh bukti”

Christopher berjalan menghampiriku yang sedari tadi masih berdiri dalam posisi yang sama, masih dalam tatapan matanya yang lekat. Aku merasakan ada sesuatu yang meraih kedua tanganku, menggenggamnya erat. Christopher mendekatkan posisi tubuhnya, hingga ia tiba persis di samping telinga kananku.

“Aku mencintaimu” 

Ia berbisik. Bisikan paling tulus yang pernah aku dengar. Bisikan yang meluluh-lantahkan ketakutanku, keraguanku. Kupu-kupu dalam perutku kembali beterbangan, dalam koloni yang lebih banyak. Pandanganku mendadak kabur, rupanya ada setetes kebahagiaan yang menetes dari sana. Aku tersenyum, entah apa definisi senyum itu. Ada kebahagiaan, haru, semuanya. Kebahagiaan, dimana akhirnya ada orang yang berani untuk mencintaiku, dan menungkapkannya. Haru, dimana akhirnya hatiku menemukan rumah yang sebenarnya, yang benar-benar menerimaku apa adanya. 

Aku memeluk Christopher, membiarkan ia merasakan kebahagiaan itu sejenak, sebelum akhirnya aku melepas pelukannya dan berkata “Aku lebih mencintaimu”



Jika aku adalah surga kecilmu, maka kedua mataku adalah malaikat-malaikat penghuni surga itu. Hatiku adalah tempat dimana kau akan tinggal selamanya. Pundak dan tanganku adalah tempat dimana kau menaruh harapan-harapanmu, harapan-harapan kita, bersama dengan kehangatan sentuhan tanganmu. Maka inilah aku, surga kecil dalam nerakamu, satu-satunya hal yang masih membuatmu bertahan.  

13.4.14

Kapal Kayu

Terombang-ambing
Bagai perahu kayu di laut lepas
Sungguh, ombak ini terlalu kencang
Menerjangku, tak sekali, dua kali
Terhempas hingga jauh

Aku sudah terlalu jauh dari dermaga
Ingin kembali pun, aku tak bisa
Lagipula, ombak ini masih terlalu kencang
Untukku yang rapuh, porak-poranda
Terhuyung lemah, tak tahu harus kemana

Tuhan, cobaan apa lagi ini?
Kayu-kayu perahuku sudah semakin rapuh
Tak adakah satu mercusuarMu menuntunku pulang?






10.2.14

:)

Aku mencintaimu dengan sederhana
Sama sederhananya seperti saat kamu tersenyum
Ikhlas, begitu bahagia
Membiaskan binar-binar bintang maha terang

Aku mencintaimu dengan sederhana
Sama sederhananya seperti saat kamu berbicara
Tegas, lugas, penuh semangat
Membuat tubuhmu seakan habis terpanggang oleh semangatmu yang membara

Aku mencintaimu dengan sederhana
Sama seperti saat kamu tertawa
Lepas, lantang, tanpa beban
Seolah hidupmu hanya untuk berbahagia
Tidak pernah kamu biarkan awan hitam menaungi satu sentimeter pun langkahmu

Aku mencintaimu dengan sederhana
Sama seperti saat jemari lincahmu menari diatas tuts piano
Gemulai, penuh perasaan
Mendentingkan nada-nada indah bernuansa klasik sarat makna

Aku mencintaimu dengan sederhana
Sangat sederhana
Sesederhana aku yang membuat puisi ini atas nama rasa rindu
Sesederhana aku yang terduduk diam bersama bayangmu

Disini, dibawah langit malam ini
Langitku, dan langitmu
Bukankah itu masih langit yang sama?
Langit yang aku lihat sekarang
Langit yang kamu lihat juga dari sana, kan?

Karena aku mencintaimu dengan sederhana
Sama seperti saat aku menatap langit hitam ini
Langit hitam yang sama saat aku terakhir kali tertawa bersamamu
Masih langitmu, dan langitku