18.4.14

Surga dalam Neraka

"Rene, aku pulang dulu ya!" aku mengangguk perlahan sambil tersenyum, mengiyakan pernyataan teman-temanku yang entah sudah berapa kali aku dengar bersahutan. Aku sendiri masih tak berniat pulang, toh, suasana kelas siang ini tak sepanas biasanya. Tak ada salahnya menikmati barang sepuluh atau lima belas menit.

Aku bangkit dari tempat dudukku, bangku kedua dari depan, berjalan menuju jendela tepat di samping meja guru, duduk manis di atas meja guru yang sudah agak usang itu, menatap kearah lapangan parkir yang mulai kosong. Satu-persatu mobil mulai hilang dari hadapanku, tidak jauh beda dengan riuh suara lelah teman-teman sekelasku lainnya yang tak lagi ramai dan perlahan-lahan berubah menjadi sunyi. Hingga aku tersadar bahwa tinggal aku sendiri saja yang ada di kelas ini.

Aku mengalihkan pandanganku ke seluruh sudut kelas. Mencoba mencari sesuatu yang menarik untuk dilihat. Namun satu-satunya yang menarik hanyalah tasku, yang aku biarkan tergeletak diatas meja dalam keadaan menganga lebar. Kacau balau. Buku-bukuku juga masih berserakan. Tak terbesit di benakku untuk merapikannya. Ah, biar saja, batinku.

"Belum pulang, Rene?"

Sesosok laki-laki berdiri di ambang pintu. Ya, Christopher, teman sekelasku yang menurutku berbeda dari laki-laki yang lain, yang keberadaannya selama setengah semester ini mendadak sering membuat kupu-kupu yang ada di perutku beterbangan, membuat jantungku yang tadinya bekerja normal mendadak tidak stabil. 

"Belum, Chris. Kau juga belum pulang rupanya? Ada perlu apa kau kembali ke kelas?"

"Ah, tidak. Tadinya aku ingin mencari penaku yang tertinggal di...."

"Meja guru, kan? Sepertinya ini memang milikmu"

Aku melemparkan sebuah pena berwarna biru, kemudian ia menangkapnya dengan sempurna. Senyum tak terlalu lebar tersirat di wajah lelahnya. Dingin. Entah apa arti senyumnya itu. Namun belum sempat aku berpikir mengenai arti senyumnya itu, kupu-kupu di perutku sekali lagi kembali beterbangan. Dan sekali lagi, jantungku bekerja tidak stabil. Kelenjar adrenalku mendadak bekerja lebih keras dari biasanya. Mataku terpaku, otakku serasa beku.

"Terima kasih, Rene"

Ia berjalan mendekat, menghampiriku yang sedang duduk manis di meja guru sambil memandangi lapangan parkir. Dan dengan bodohnya, aku masih sibuk menata kembali perasaanku, menyembunyikan sesuatu yang seharusnya dia tidak usah tahu. Aku bingung. Semuanya jadi serba salah.

"Rene? Kau tidak apa-apa?"

Blap! Aku kembali sadar. Syukurlah.

"Ah, ti....ti.....tidak apa-apa kok, Chris. Aku ha....hanya...."

"Melihat ke arah lapangan parkir, kan?"

Aku menoleh padanya dan menggangguk sambil tersenyum. Dan aku temukan satu lagi keagungan Tuhan yang sungguh nyata dan indah, menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang tercipta sempurna. Ya, mata biru milik Christopher. Mata yang menenangkan, sekaligus misterius, namun menyiratkan suatu arti tersendiri. Sekitar tiga detik aku menatapnya, mencoba menerka apa yang ada di dalamnya. Namun batinku goyah, aku kembali tersadar dari halusinasi singkatku. Bodoh, kalau sampai dia tahu arti sirat mataku, bisa mati aku, batinku. Namun Christopher hanya diam. Nampaknya ia tak sadar aku sedang menerka arti sirat matanya yang misterius itu tadi. 

Seketika aku dan Christopher larut dalam diam. Sunyi. Kesunyian yang berbeda dengan kesunyian-kesunyian sebelumnya. Kesunyian yang begitu berarti untukku, mungkin. Dimana dua orang manusia disibukkan dengan pikiran dan imajinasi masing-masing. Lucu juga, jantungku yang tadi seperti akan melompat keluar mendadak mulai tenang, semakin tenang. Aku memejamkan mata sejenak, membiarkan seluruh sel-sel di dalam tubuhku mendengar desiran darahku sendiri, mengalir dari ujung rambut ke ujung kaki, bersamaan dengan sapuan angin sore di wajahku, membuat rambutku seolah menari. Begitu tenang dan damai.

"Aku bisa membayangkan lapangan parkir ini saat pagi hari. Penuh. Riuh. Terkadang kacau, tapi wajah-wajah tidak peduli itu tetap melengos masuk ke neraka ini"

Suara Christopher membuyarkan semuanya. Aku membuka mata dan kembali pada kenyataan bahwa ia memang masih disini, di sampingku, tanpa satu sentimeterpun bergeser menjauh. Matanya masih menatap lekat ke arah langit jingga di luar jendela. Neraka? Tempat ini adalah neraka baginya? Baiklah, untuk alasan tertentu aku terpaksa menahan diri untuk tak menanyakan hal itu padanya. 

“Kau tahu, Rene? Tempat ini adalah neraka”

Tunggu, kau sudah mengatakan hal itu sebelumnya. Tentu saja aku sudah tahu. Yang benar saja!, batinku.

“Namun neraka ini berbeda, neraka yang memiliki surga di dalamnya, meskipun hanya satu, kecil, dan nyaris tidak tampak”

Aku sungguh tak mengerti apa yang ia ucapkan. Surga? Hanya satu? Di tengah neraka? Apa ia sedang bergurau? 

“Hahaha, sudahlah, aku mulai membayangkan yang tidak-tidak. Aku pulang dulu ya, Rene. Terima kasih sudah mau mengembalikan penaku”

Ia melengos begitu saja, meninggalkanku yang masih terpaku menatapnya berjalan pergi. Entah kenapa, melihat hal itu, kata-kata yang entah dari mana datangnya, keluar begitu saja, seolah mengejek kemampuan otakku untuk berpikir lebih cepat dari itu. Kedua kakiku serasa menyuruhku untuk bangkit dari posisi dudukku, memaksaku berdiri, dan pada akhirnya menanyakannya.

“Chris, yang kau sebut surga dalam neraka, i....itu, sebenarnya, a...a....apa?”

Christoper menghentikan langkahnya. Terdiam sejenak, untuk setelahnya berbalik arah dan menatap mataku lekat. Sirat mata itu, aku melihatnya lagi. Sirat mata yang menyiratkan suatu arti tersendiri. Dan kini sirat mata biru itu menatapku lekat, tak membiarkanku melewatkan satu detikpun untuk berpaling. Bahkan berkedip.

“Kau mau tahu apa surga dalam neraka itu?”

“Memangnya apa?”

Christopher terdiam. Mulutnya terbuka seolah ia ingin mengatakan sesuatu, lalu mengatup kembali. Suasana menjadi hening sesaat, sebelum akhirnya ia tertawa kecil sambil tersenyum penuh arti.

“Kau, Rene”

Mataku masih menatapnya, dengan binar ketidakpercayaan. Seluruh tubuhku bergetar. Tangan dan kakiku serempak menurunkan suhunya, bersiap-siap untuk terbang melayang-layang di udara, atau berlarian di bawah guyuran dedaunan jati yang meranggas. Aku terdiam. Terkejut, tidak percaya. Aku? Surga?

“Kau masih tidak percaya, Rene? Baiklah, aku rasa kau butuh bukti”

Christopher berjalan menghampiriku yang sedari tadi masih berdiri dalam posisi yang sama, masih dalam tatapan matanya yang lekat. Aku merasakan ada sesuatu yang meraih kedua tanganku, menggenggamnya erat. Christopher mendekatkan posisi tubuhnya, hingga ia tiba persis di samping telinga kananku.

“Aku mencintaimu” 

Ia berbisik. Bisikan paling tulus yang pernah aku dengar. Bisikan yang meluluh-lantahkan ketakutanku, keraguanku. Kupu-kupu dalam perutku kembali beterbangan, dalam koloni yang lebih banyak. Pandanganku mendadak kabur, rupanya ada setetes kebahagiaan yang menetes dari sana. Aku tersenyum, entah apa definisi senyum itu. Ada kebahagiaan, haru, semuanya. Kebahagiaan, dimana akhirnya ada orang yang berani untuk mencintaiku, dan menungkapkannya. Haru, dimana akhirnya hatiku menemukan rumah yang sebenarnya, yang benar-benar menerimaku apa adanya. 

Aku memeluk Christopher, membiarkan ia merasakan kebahagiaan itu sejenak, sebelum akhirnya aku melepas pelukannya dan berkata “Aku lebih mencintaimu”



Jika aku adalah surga kecilmu, maka kedua mataku adalah malaikat-malaikat penghuni surga itu. Hatiku adalah tempat dimana kau akan tinggal selamanya. Pundak dan tanganku adalah tempat dimana kau menaruh harapan-harapanmu, harapan-harapan kita, bersama dengan kehangatan sentuhan tanganmu. Maka inilah aku, surga kecil dalam nerakamu, satu-satunya hal yang masih membuatmu bertahan.  

No comments:

Post a Comment